Selasa, Januari 23, 2007

seni

Read More......

Minggu, Januari 21, 2007

PENCURIAN BERKEDOK PERATURAN PEMERINTAH




Democracy at least at present is the best form of governance but by no means a perfect one. In democracy one has the freedom. When democracy is misunderstood, however and freedom misinterpreted, the result is anarchy” (Mahatir Muhammad, Achieving True Globalization, 2004)

Benar seperti dikatakan Mahatir Muhammad, bahwa ketika demokrasi salah dipahami, dan kebebasan disalah tafsirkan maka hasilnya adalah anarkhis. Karena demokrasi dan kebebasan esensinya adalah kesejahteran bagi rakyat, namun saat ini yang terjadi pada bangsa kita terjadi chaos.
Banyaknya demonstrasi dan unjuk rasa berbagai elemen masyarakat mulai dari buruh, petani, guru, bahkan kepala desa akhir-akhir ini bukan hanya akibat reformasi yang "kebablasan". Semua fenomena itu justru lebih disebabkan kecenderungan elite politik yang "kebablasan" karena tidak lagi memiliki kepekaan sosial, tanggung jawab, dan nurani.
Seperti halnya keluarnya Peraturan Pemerintah nomor 37 tahun 2006 tentang kedudukan protokelor dan keuangan kepemimpinan dan anggota DPRD menimbulkan beragam reaksi. Tentu para angota dewan merasa senang karena kesejahteraannya meningkat berlipat-lipat.
Namun bagi masyarakat kebijakan tersebut jelas dirasakan sebagai sesuatu yang kurang patut dan kuirang bijak. Bagaimana mungkin penerintah hanya memikirkan pendapatan anggota DPRD dan kurang kurang mempedulikan kepentingan yang lebih luas terutama alokasi anggaran untuk program yang langsung menyentuh kepentingan rakyat. Beban pengeluaran rutin pun akan semakin menggerogoti anggaran.
Berdasarkan PP 37/2006 tersebut pimpinan dan anggota DPRD akan mendapatkan penghasilan dari minimal 10 sumber seperti uang representasi, tunjangan keluarga, tunjangan beras, tunjangan keluarga, tujangan jabtan dan sebagainya. Berdasarkan peraturan itu pula penghasilan masih ditambah dengan tunjangan komunikasi intensif buat semua anggota dan dana operasional bagi pimpinan. Selain itu pimpinan dan anggota DPRD sera keluarga juga masih memperoleh tunjangan kesehatan, perumahan, kendaraan dinas dan masih banyak lagi. Bahkan untuk tunjangan komunikasi intensif terhitung mulai 1 Januari 2006.
Betapa rakusnya anggota dewan kita, para wakil rakyat benar-benar menerima harta yang melimpah dari uang rakyat, di saat rakyat menuai badai kepedihan dan penderitaan. Mulai dari kemiskinan, pengangguran, bencana alam di Yogyakarta yang belum pulih pembangunannya, Lumpur panas di Sidoarjo, Banjir yang melanda di berbagai daerah, harga pangan semakin mahal, sampai ngomong persoalan gaji guru yang sangat memprihatinkan.
Akan tetapi anggota dewan menutup mata dengan semua persoalan kerakyatan tersebut. Di tengah kondisi semakin minimnya anggaran, pembayaran rapelan mundur setahun membuat seorang anggota DPRD menerima uang ratusan juta rupiah. Kabarnya ada seorang ketua DPRD yang menerima samapi Rp 324 juta sedangkan anggota Rp 80 Juta. Dan kalau dihitung secara nasional, meliputi pengeluaran untuk 15 ribu anggota. Maka jumlah anggaran yang disedot mencapai Rp 1,2 trilyun. Ditambah tahun ini menjadi Rp 2,4 trilyun. Itu hanya menyangkut tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional belum lainya. Sungguh ironis!
Nampaknya anggota dewan sungguh tak punya hati nurani lagi, amanat yang diberikan rakyat untuk memperjuangkan kepentingan rayat hanya janji belaka, perlakuanya hanya menyengserakan rakyat semata. Dewan yang secara de facto bertugas untuk membuat kebijakan dan membuat undang undang supaya terjadi keteraturan dan kesejahteraan rakyat, namun malah mencuri uang rakyat dengan berkedok peraturan pemerintah dan undang-undang.
Politik memimpin para pejabat kita sekarang adalah hanya berdasarkan kekuasaan untuk memperoleh kesejahteraan pribadi semata. Secara teori idealnya perilaku politik harus seimbang antara politik sebagai kiat dan politik sebagai ilmu. Politik sebagai kiat adalah politik berniatkan kekuasaan untuk memperoleh sesuatu sedangkan politik sebagai ilmu adalah politik untuk memberikan kesejahteraan bagi rakyat.
Sekarang politik para pejabat kita sudah tidak mengindahkan kedua unsur politik tersebut, peajabat hanya berambisikan politik sebagai kiat hanya untuk memperoleh kekuasaan dan kejayaan pribadi meraka.

Bermental Preman
Di tengah penderitaan rakyat yang tak kunjung berkurang, pemerintah pilihan rakyat mestinya lebih cerdas dalam menentukan pilihan kebijakan. Bukan hanya berpikir menyejahteraan kepentungannaya sendiri tanpa mempedulikan kepentingan rakyat. Orientasi pencapaian keberhasilan makro-ekonomi sudah saatnya diimbangi keseriusan penanganan persoalan riil ekonomi seperti gizi buruk, dan pengangguran.
Secara retorik, pemerintah sering mengemukakan komitmen untuk mengurangi penderitaan rakyat. Namun, dalam realitasnya, pilihan kebijakan hampir selalu "tulalit", dalam arti tidak "nyambung" dengan kebutuhan rakyat, yang nampak hanya kebijakan yang bermentalkan preman.
Peraturan Pemerintah nomor 37 tahun 2006 hanya contoh kecil dari tak adanya kepedulian dan nurani elite kita. Masih banyak contoh yang tidak terungkap dan belum tercium pers. Begitu pula premanisme politik ala DPR, hanya contoh kecil dari lautan premanisme politik dan kesewenang-wenangan kekuasaan yang berpotensi meluluhlantakkan bangunan negeri kita.
Semoga saja Tuhan menyadarkan nurani para elite politik kita untuk kembali kejalan yang benar.

Read More......

Kamis, Januari 04, 2007

patak warak

Read More......