Senin, Mei 19, 2008

menepis kerakusan manusia


Hobi manusia menumpuk-numpuk harta benda bisa menambah kekeringan spiritualitas


Saat ini manusia memang berada di tengah peralihan sejarah yang menentukan. Dunia yang di ciptakan oleh lebih dari tiga abad moderenisasi ini telah mengirimkan sinyal bahaya menyangkut kompleksitas interaksi ekologi yang menopang kehidupan di bumi.
Rentetan bencana melanda berbagai wilayah di Indonesia.Ada yang terjadi karena proses alamiah dan akibat ektifitas lempeng-lempeng kerak bumi dan banyak di sebabkan oleh ulah manusia sendiri.
Kegiatan manusia, khususnya dalam hal produksi dan konsumsi energi untuk menciptakan berbagai sarana yang menunjang “kenyamanan” hidup telah membuat atmosfer bumi seperti bejana raksasa berisi gas-gas buangan yang volumenya sama-sama besar.
Sehingga banyak memakan banyak korban rakyat nusantara ini, masyarakat Aceh yang belum pulih dari penderitaan akibat tsumani, setelah itu di berbagai daerah dirundung oleh banjir yang bertubi-tubi, ribuan orang terpaksa mengungsi. Ratusan rumah dan sawah rusak di landa banjir.
Penyebab terjadinya bermacam bencana ini dikarenakan oleh kerakusan, ketamakan dan kecongkaan sifat manusia yang hanya berfikir jangka pendek demi kepentingan dan keuntungan pribadi belaka.
Harian International Herald Tribune Sabtu-Minggu-Senin 29-30 april, 1 Mei 2006 halaman pertama memuat artikel berjudul: The end of Borneo’s tropical forest?. Pembicaraan telah dimulai dari kalangan RI dan pihak Cina untuk menjual hutan dan menebang pohon-pohon Merbau. Pada tanggal 19 April 2006, Indonesia mengumukan bahwa Cina telah memesan 1 milyar dolar untuk 800.000 meter kubik kayu demi mempersiapkan konstruksi fasilitas olahraga olimpiade 2008. (Etty Indriyati, 2007:36)
Sehingga benar seperti yang paparkan oleh Badan Pangan Dunia, FAO menyebut laju pengahancuran hutan di Indonesia sepanjang 2000-2005 sebagai yang tercepat di dunia. Setiap tahun rata-rata 1,871 juta hektar hutan hancur atau 300 lapangan sepak bola setiap jam. Kehancuran 2 persen dari luas hutan yang tersisa dari luas hutan yang tersisa itu jauh melebihi Zimbabwe, Myanmar, dan bahkan Brasil.
Sehingga akibatnya pun jelas, hujan yang terus menerus membanjiri daerah yang berdataran rendah, kasus terdekat yaitu kota Jakarta seketika di genangi oleh banjir akibat hujan yang terus beruntun.
Hujan yang terus menerus menyebabkan tanah longsor di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera utara mengakibatkan 21 orang tewas. Hutan alam Riau yang terus menerus ditebang sekarang hanya tersisa 5 %. Di Wonogiri Jawa Tengah, gagal panen akibat kekringan. Untuk mencukupi kebutuhan air sawah di daerah itu diperlukan 100 unit sumur petak dan 77 unit pompa air, rehabilitasi embung rakyat senilai Rp 231,4 milyar dan rehabilitasi hutan Rp 223,9 miliar. Suatu jumlah yang sangat besar yang seharusnya tidak perlu dibayar apabila lingkungan ditata dan penataan ditaati sesuai daya dukung lingkungan yang dimiliki.
Kegiatan manusia, khususnya dalam hal produksi dan konsumsi energi untuk menciptakan berbagai sarana yang menunjang “kenyamanan” hidup telah membuat atmosfer bumi seperti bejana raksasa berisi gas-gas buangan yang volumenya sama-sama besar.

Para ahli menyebutnya gas buangan itu sebagai gas-gas rumah kaca, terdiri dari berbagai jenis gas; anatara lain, metana (CH4) dan Nitrogen oksida (NO), tetapi kompoen terbesarnya adalah karbon dioksida (CO2). Lama usia kilogram gas dalam atmosfer, seperti pernah dipaparkan Prof Emil Salim, adalah 50-200 tahun untuk karbon dioksida, 12 tahun untuk metahana, 114 tahun untuk karbon dioksida.
Emisi gas-gas rumah kaca itu membentuk selubung yang semakin tebal, membuat temperatur di bumi naik, diprediksi mulai satu sampai tiga derajat Celcius pada abad ini dan berpotensi mengubah pola cuaca secara ekstrem, bencana sudah di depan mata, kalau manusia tidak ingin mengubah cara hidupnya.
Begitulah bahasa sederhana dari inti laporan Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) tentang dasar sains perubahan iklim yang dirilis di paris baru-baru ini.
Menurut Proyek karbon Global (The Global Carbon Project) pada tahun 2005 sekitar 7,9 ton CO2 dilepaskan ke atmosfer. CO2 sebagai gas rumah kaca sebagian besar oleh aktifitas manusia. Konsumsi energi di era industri melecut pelepasan CO2 yang semakin melipat.
Dapat dikatakan kenaikan temperatur bumi yang cukup signifikan tidak bisa lepas dari konsumsi energi manusia yang sedemikian tinggi pada massa kini. Efek rumah kaca yang antropogenik inilah mulai menggangu keseimbangan pengaturan suhu permukaan bumi. Diperkirakan temperatur bumi semakin meningkat. Perubahan iklim yang ekstrem mulai terjadi.
Sebagian akibatnya sudah nampak, banjir yang makin hebat dan kekeringan berat, ledakan penyakit-penyakit yang timbul melalui vector malaria, demam berdarah dan flu burung, hasil panen merosot, kelaparan, malnutrisi, rusaknya ekosistem laut dan punahnya sekitar 15-40 persen spesies keragaman hayati yang mendukung keberlanjutan kehidupan.

GAIA: Bumi Sebagi Organisme Hidup
Untuk memahami persoalan ini, James Lovelock pemikir asal Inggris mengarahkan perhatianya pada bumi dan mencetuskan gagasan mengenai Gaia.
Gagasan utama dalam hipotesis Gaia menyatakan bahwa Bumi merupakan organisme hidup. yakni suatu superorganisme baik yang mencakup biotik maupun abiotik, biosfer dan lingkunganya sebagai kesatuan yang membentuk sistem pengaturan dan pemeliharaan diri.
Terdapat ciri umum kehidupan yang dapat ditemukan di bumi, yakni adanya pengurangan entropi. Pengurangan entropi ini terjadi di daerah sabuk penghantar bumi di mana medianya adalah wilayah berair dan atmosfer bumi. Di daerah ini terdapat aktifitas kehidupan yang melibatkan biosfer dan lingkunganya. Biosfer memanfaatkan energi dan materi yang terdapat dalam lingkungan bumi baik yang terdapat dalam di laut, udara dan kerak bumi. Aktifitas kehidupan ini juga disertai dengan pembuangan limbah menuju lingkunganya.
Hal ini memperlihatkan bahwa bumi merupkan sistem terbuka. Sistem terbuka menjadi ciri mendasar setiap organisme hidup. Dalam sistem terbuka, terjadi perpindahan materi dan energi dari sistem menuju lingkungan dan sebaliknya.
Pemikiran yang tertuang dalam hipotesis Gaia juga mengakibatkan perubahan mendasar dalam cara pandang manusia, baik terhadap dirinya sendiri maupun dunia di mana manusia hidup. Manusia adalah bagian integral Gaia yang turut serta dalam sistem pengaturan dan pemeliharaan diri tersebut menjadi kunci keberlangsungan Gaia dan manusia yang menjadi bagian integralnya.
Keberlangsungan spesies manusia beserta aktivitasnya sangat tergantung dari sistem pengaturan Gaia dan wilayah-wilayah inti Gaia tersebut. Dalam Gaia, manusia bersama unsur-unsur lain dalam Gaia bekerja sama membangun sistem pengaturan tersebut. Manusia turut dipengaruhi oleh sifat mendasar Gaia, yakni pemeliharaan homeostasis dan sistem sibernetika. Jika kehadiran manusia sampai merusak pengaturan Gaia, maka petaka sibernetik yang bersifat planeter tidak dapat terhindarkan. Itu juga petaka bagi manusia.
Jadi rusak dan lestarinya bumi salah satunya bergantung pada perilaku manusianya juga baik perilaku yang sifatnya fisik maupun spiritual, karena memang seperti dikatakan di atas tadi bumi telah kehilangan jiwa Gaianya.

KRISIS SPIRITUAL MANUSIA
Sejatinya manusia telah merindukan kehijauan pohon, gemercik suara air, tari-tarian ranting dedaunan dalam embusan angin, dan pertukaran oksigen yang diambilnya dari ruangan fotosintesis hijau dedaunan, yang bergantian mengambil karbon dioksida yang di buang dari hembusan nafas manusia.
Tapi kini manusia menyita semua alam ini dengan kerusakan-kerusakan, manusia menyita simpanan kekayaan alam sehabis-habisnya, hutan, gunung, sawah, lautan, semua dihilangkan tanpa memikirkan akibatnya.
Sebenarnya orang-orang terdahulu atau nenek moyang kita jauh lebih arif dalam membatasi jumlah kelahiran keluarganya, supaya tidak menghabiskan hasil hutan dan binatang buruan. Manusia dulu juga arif dalam mengelola alam, sebatas keperluan hidup sehari-hari, tidak mengambil sebanyak-banyaknya lalu di jual ke bagian alam lain demi kepentingan semaksimal mungkin untuk menghidupi tujuh keturunan keluarga besarnya sendiri.
Kerinduan akan alam yang asri menyiratkan kerinduan berinteraksi dengan makhluk hayati yang merupakan saudara hayati kita karena unsur-unsur biologis di tubuh manusia sama yang ada pada zat hayati lain. Krisis spiritual muncul ketika manusia jarang bersentuhan dengan alam yang menyediakan energi bagi kelangsungan hidupnya.
Manusia tidak lagi menyadari, betapa alam menyediakan dengan gratis, betapa watt matahari memberi listrik di siang hari, berupa juta kubik paru-paru mendapat oksigen dari udara yang mengalir dari darahnya, berapa juta mikroba dan insekta mengambalikan manusia ke alam keabadian sehingga kolera tidak merajalela. Ironis karena perkembangan cara mencari makan dengan mendapat gaji dan ekonomi pasar menjauhkan manusia dari perolehan makan langsung dari rantai alam.
Semakin berlimpah ruah benda mati yang manusia tumpuk sebagai harta benda, semakin menjauhkan manusia dari asal usulnya dan semakin kering spiritualnya. (Amin Fauzi)


Read More......