Jumat, November 21, 2008

Memotret Grobogan dari Jalan


Artikel ini dimuat juga di harian Suara Merdeka pada Kamis, 13 November 2008

SUDAH menjadi kesan umum, bahwa Kabupaten Grobogan identik dengan jalan rusak. Kesan tersebut terus tertanam sampai saat ini, apalagi saat musim hujan seperti sekarang.

Kesan tersebut bukan bualan belaka, melainkan ada fakta empiris yang bisa membuktikannya. Menurut data statistik, dari 213.246 kilometer (km) jalan provinsi, hanya 18.700 km (8,8 %) saja yang keadaannya masih baik.

Selebihnya, 126.666 km (59,4 %) dalam keadaan tidak baik, bahkan 67.880 km (31,8 %) dalam keadaan kritis. Belum lagi kalau melihat kondisi jalan kabupaten yang totalnya mencapai 880.100 km, sebagian besar dalam keadaan rusak, bahkan sebagian lainnya rusak berat.

Kondisi seperti itu sangatlah memprihatinkan. Apalagi Kabupaten Grobogan kalau dilihat dari segi geografis terletak di antara persimpangan kota lain, seperti Kudus, Demak, Kota Semarang, Salatiga, Solo, dan Blora.

Posisi itu menunjukkan Grobogan memiliki peran vital dalam penggunaan jalur transportasi, terutama dalam peta jalur perdagangan. Peta jalur seperti itu, kalau dimanfaatkan secara maksimal, bisa mendatangkan banyak keuntungan bagi pemerintah daerah (pemda) maupun masyarakat setempat.

Ada kemungkinan, karena letaknya di tengah-tengah persimpangan, Gro-bogan bisa digunakan untuk tempat transit. Peran ‘’transito’’ itu juga menyangkut jalur wisata antardaerah sebagai potensi yang membuka kemungkinan penanaman modal di bidang jasa, perhotelan, rumah toko (ruko), dan lain-lain.

Selain itu, Grobogan juga potensi terbesar dalam bidang pertanian di Jateng. Bahkan sejak dulu Grobogan dikenal sebagai lumbung padi terbesar kedua di Jateng setelah Cilacap. Areal persawahan di kabupaten itu seluas 60.349 hektare atau sekitar 6,04 persen dari seluruh lahan sawah di Jateng.

Hasil pertanian seperti kedelai dan kacang hijau menempati urutan kedua di Jateng, bahkan untuk komoditas jagung, Grobogan menjadi sentra terbesar di Jateng.

Selain tanaman pangan, Grobogan juga menjadi sentra produksi buah-buahan, terutama mangga, belimbing, dan pisang; serta andalan untuk tanaman perkebunan seperti tembakau, kapas, dan kelapa hibrida.


Pariwisata

Di bidang pertambangan, kabupaten itu memiliki deposit besar berupa batu gamping, pasir berbatu (sirtu), tanah liat, gipsum, dan posfat. Belum lagi potensi pariwisata seperti Bleduk Kuwu, Air Terjun Widuri, Api Abadi Mrapen, dan Waduk Kedungombo yang statusnya milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jateng.

Potensi-potensi alam itu, kalau tidak didukung oleh sarana infrastruktur dan transportasi yang memadai, hanya akan “teronggok” sia-sia. Aset dan po-tensi itu menjadi tidak menarik untuk dilirik oleh masyarakat, karena sarana transportasi yang menghubungkan ke sektor-sektor terkait tersebut tidak memadai.

Dengan kondisi jalan seperti itu, wajar bila sampai saat ini Kabupaten Grobogan masuk kategori daerah mis-kin di Jawa Tengah, meski di sisi lain mendapat predikat gudang padi.

Memprihatinkan, beberapa aset daerah yang dimiliki tidak “terjamah” oleh masyarakat luas hanya karena jalan rusak yang setiap waktu bertambah parah.
Kalau kondisi seperti itu terus dibiarkan, ada kemungkinan roda perekonomian Kabupaten Grobogan akan terus melemah, dan predikat sebagai daerah miskin akan terus disandang, karena lambat laun perputaran sektor ekomoni akan mati.

Obsesi Grobogan menjadi kota perdagangan (bisnis) dan wisata seperti yang dilontarkan oleh Bupati Bambang Pudjiono akan sia-sia, jika tidak diimbangi dengan rencana sistematis rehabilitasi jalan secara total.

Perhatian Utama

Berkaca kepada kondisi tersebut, tampaknya peran infrastruktur sangatlah vital. Karena itu, sektor tersebut harus lebih diperhatikan daripada sektor-sektor lain. Harapannya, setelah fasilitas jalan di Kabupaten Grobogan ditata dan ditangani secara baik dan memadai, akses menuju kemajuan pada sektor lain akan mudah dibuka.

Sektor pertanian, perindustrian, dan pariwisata, mutlak membutuhkan dukungan infrastruktur transportasi yang memadai. Secara sederhana, bagaimana bisa menawarkan Objek Wisata Bledug Kuwu, Api Abadi Mrapen, dan Waduk Kedung Ombo misalnya tanpa diimbangi dengan jalan mulus.

Apalagi di era otonomi daerah seperti sekarang, obsesi demi kemajuan suatu daerah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Daerah dituntut untuk memacu penggalian potensi-potensinya, antara lain dengan menggaet investor.

Pemerintah-pemerintah kabupaten kini terkondisi untuk menawarkan daerahnya melalui berbagai media; dari leaflet hingga internet. Juga dengan berbagai kemudahan yang memangkas kekakuan belenggu birokrasi. Sekali lagi, itu mesti diimbangi dengan ketersediaan prasarana vital transportasi.

Grobogan masih belum bisa melepaskan diri dari citra jalan rusak yang parah. Oleh karena itu, untuk menyelesaikan masalah tersebut berbagai pihak juga harus dilibatkan, baik dari pihak pemerintah, para ahli, maupun masyarakat luas, untuk sama-sama memikirkan kembali perbaikan jalan yang rusak.

Masalah kerusakan jalan yang terjadi terus-menerus itu, tidak semata-mata karena kurangnya perhatian maupun dana dari pemerintah, tapi juga karena struktur tanah di Grobogan yang labil. Apalagi saat musim hujan, jalan akan mudah ambles.

Oleh karena itu, pembangunannya harus dicarikan pola dengan konstruksi yang pas untuk tanah yang labil tersebut. Dalam hal itu, peran ahli geoteknik perlu dimaksimalkan. Semoga, pokok pikiran tersebut bisa menjadi pelecut Pemeritah Kabupaten Grobogan untuk segera membenahi fasilitas-fasilitas jalan yang dimilikinya.(68)

Amin Fauzi, warga Desa Batur-agung, Kecamatan Gubug, Kabupaten Grobogan, kuliah di Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang.


Read More......

Rabu, November 05, 2008

Api Mrapen, Wisata Berbasis Budaya


Tulisan ini di muat juga di harian Suara merdeka pada Kamis, 30 Oktober 2008

Rabo, 8 Oktober 2008 kemarin, Api Abadi Mrapen menjadi bukti sejarah lagi. Wakil Gubernur Jawa Tengah Rustriningsih menyalakan obor yang diambil dari api Mrapen, kemudian diserahkan kepada panitia Bali Asean Beach games (BABG) 2008 yang rencananya diikuti oleh 45 negara dan akan dilaksanakan pada 18-26 Oktober 2008 di Bali.

Pengambilan api abadi ini juga diiringi oleh prosesi rutual dan pertunjukan tari
daerah yang digelar di daerah kompleks api abadi Mrapen.
Ya. Komplkes ini terletak di antara jalan Semarang-Purwodadi kira-kira KM 26 dari dari arah Semarang, tepatnya di Desa Manggarmas, Kecamatan Godong, Kabupaten Grobogan. Di komplek ini anda akan menemukan beberapa keanehan alam yang dapat anda nikmati, yaitu api abadi yang merupakan pesona keluarnya api dari dalam tanah yang tidak pernah padam sekalipun turun hujan.

Tidak jauh dari sumber api abadi, terdapat sendang dudo, yaitu sumber air berdiameter 3 meter, kedalaman lebih kurang 2 meter. dimana airnya senantiasa kelihatan mendidih tetapi tidak panas. Letupan air itu akan menyala kalau kena api dipermukaan air.
Menurut penelitian air tersebut banyak mengandung mineral dan zat-zat kimia. Air yang dilihat keruh bila dimasukkan kedalam sebuah gelas, akan berubah wujud menjadi bening. Konon sampai sekarang air tersebut mempunyai keajaiban untuk menyembuhkan orang yang menderita penyakit gatal-gatal.

Di dekat titik sumber api juga terdapat sebuah bangunan yang di dalamnya tersimpan sebuah batu umpak atau "batu bobot" yang oleh masyarakat setempat sering kali dikeramatkan.





Wisata Agama dan Budaya
Selain itu, Api Mrapen juga memiliki hikayat dan sejarah panjang. Apinya sudah lama dikenal sebagai sumber api banyak kegiatan olah raga dan budaya di Indonesia.
Seperti pesta Olah Raga Internasional Ganefo I tanggal 1 November 1963. Pekan Olahraga Nasional (PON) mulai PON X tahun 1981, POR PWI tahun 1983, HAORNAS, Upacara hari raya Waisak dan pembukaan Bali Asean Beach Games pada 8 Oktober kemarin.

Tidak hanya proses keanehan alam yang terjadi ditempat ini, tetapi juga punya nilai sejarah budaya atas terciptanya tempat ini. Yaitu tempat dimana besalennya Empu Supo. Api abadi adalah tempat untuk membakar besi, sumber airnya untuk "menyepuh", sedangkan batu bobotnya untuk menempa keris pusaka. Menurut masyarakat setempat Empu Supo adalah Empu dari Majapahit yang turut pindah ke Kerajaan Demak.
Tempat ini terkenal sebagai Obyek Wisata Api Abadi Mrapen yang pernah nampak indah tertata rapi dan banyak pengunjung sekitar 10 tahun silam.

Perlu Perhatian Lebih
Namun keberadaanya saat ini sangat memprihatinkan, kondisi dalam area maupun sekitar wisata tersebut nampak kumuh, terlihat tidak pernah dirawat oleh yang berwenang. berbagai kegiatan juga tak menyentuh tempat ini, masyarakat juga jarang sekali melirik tempat ini apalagi mengunjunginya. Bahkan image masayarakat terhadap objek wisata tersebut sangat negatif dibanding Objek Dan Daya Tarik Wisata (ODTW) di luar kota lain.

Sudah selayaknya tempat ini dilirik kembali, karena bisa dibilang wisata di daerah Grobogan sangatlah minim dibandingkan dengan daerah lain. itupun tingkat perhatian dan prosantase pengunjungnya sangatlah minim.

Untuk memulihkan kembali wisata tersebut, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada upaya keras dan berbagai kerja sama antar pihak untuk memangun kembali wisata alam ini.

Pemerintah tidak bisa berdiri sendiri dalam mengambangkannya. Akan tetapi juga harus ada kerja sama antar pihak baik itu pemilik, pemerintah maupun mendatangkan investor untuk sama-sama memajukan wisata tersebut. Terlebih juga dukungan masyarakat setempat untuk merawatnya.

Karena kalau melihat kondisi Wisata Api Abadi Mrapen saat ini, hal yang mesti dilakukan utama adalah pembangunan fisik, baik itu fasilitas maupun penambahan permainan, dengan harapan bila pengunjung hadir tidak hanya melihat wisata alam tersebut, akan tetapi bisa menikmati fasilitas lain yang di tawarkan.

Pembangunan itu butuh modal besar, karena banyak fasilitas yang perlu diperbaiki. Sehingga butuh dana besar untuk bisa memberikan sesuatu yang lebih tersebut. Disinalah peran investor sangat diperlukan untuk menggait dana pembangunan. dengan harapan setelah ada dana bisa memperaiki fasilitas yang ditawarkan.

Karena bicara objek wisata sama seperti halnya menjual barang dagangan. Pembeli atau pengunjung akan merasa tertarik jika barang tersebut menawarkan sesuatu keunikan dan memberikan kesan yang baik.

Hal itu bisa dilakukan saat ini adalah: Pertama, adalah pembangunan dan penambahan fasilitas yang cukup memadai bagi pengunjung. Karena mengingat objek wisata ditempat lain persaingannya juga semakin ketat, pengunjung juga sangat selektif memilih objek yang akan dikunjungi.

Kedua, menganalkan kembali objek tersebut kepada masyarakat, pengenalan ini tentuya mencakup promosi maupun sosialisasi terus menerus dengan model menjemput bola, tidak hanya menunggu pengunjung yang datang.

Ketiga, memberikan trust (kepercayaan) yang baik, dalam konteks ini bisa mencakup pengelolaan yang baik, pelayanan yang memuaskan maupun memeberikan kesan hangat kepada pengunjung.

Dengan begitu pengunjung akan merasa nyaman dan senang dengan faslitas yang ditawarkan, karena biasanya kesan pertama sangat menentukan ketertarikannya, dengan harapan setelah berkunjung selesai mengunjungi, kemudian bercerita kepada orang lain mengenai kesan wisata ini, seperti pepatah "di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung".

Ya. Semoga dengan semua harapan dan perhatian ini bisa segera ditindak lanjuti oleh yang berwenang. Minimal tidak hanya api abadinya yang terus berkobar, tetapi kobaran semangat kebanggan memiliki wisata alam yang unik ini juga terus ada.
(Amin Fauzi, Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Syar'ah IAIN Walisongo Semarang dan MAntan Pemimpin Redaksi Surat Kabar (SKM)AMANAT IAIN Walisongo)

Read More......

Senin, Juli 21, 2008

Menjadi Selebritis Abadi


"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian"
-- Pramoedya Ananta Toer



Ingin menjadi orang yang terkenal atau selebritis, tak harus menjadi artis sinetron atau artis layar lebar yang tiap hari nongol di televisi, atau kemana-kemana dikejar-kejar oleh wartawan hiburan.

Banyak cara untuk menjadi selebritis, salah satunya dengan menulis. Entah itu menulis cerpen,novel, puisi, artikel, ataupun buku-buku ilmiah.

Banyak penulis-penulis terkenal yang popolaritasnya meleibihi artis-artis layar kaca. Sebut saja Muhammad Hatta, Soekarno, Armin Pane, Sutan Ali Sya'bana, Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, Ahamad Tohari atau penulis-penulis sekarang seperti Habiburahman Saerozi melalui novel Ayat-Ayat Cinta yang lagi booming melalui filmnya, dan banyak lagi penulis-penulis lain yang popular karena karya-karyanya.

Sutan Takdir Alisjahbana misalnya. Melalui karyanya Layar Terkembang, karya fenomenalnya masih banyak di baca dan bahkan menjadi buku wajib bagi para pelajar dan mahasiswa hingga sekarang.

Pramoedya Ananta Toer juga salah seorang penulis besar yang mengharumkan bangsa di pentas internasional. Karena tidak sedikit karyanya yang diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa di seluruh dunia.

Penulis lain adalah Ahmad Tohari, ia tidak tinggal di pusat kota, tapi hanya tinggal di pelosok desa Tinggarjaya, Jatilawang Banyumas Jawa Tengah, namun dari sana banyak monorehkan karya-karya sastra yang mempesona bagi pembacanya. Karya-karyanya telah diterbitkan dalam bahasa Jepang, Cina, Belanda Jerman dan Inggris.

Mereka adalah selebritis yang melewati jalurnya dengan cara menjadi penulis. Tidak spontan dan tak mudah hilang popularitasnya sampai kapanpun selagi karyanya masih ada. Meskipun orangnya sudah meninggal berpuluh-puluh tahun yang lalu, tetapi dengan karyanya ia senantiasa hidup untuk dibaca dan dikenal oleh pembacanya. Seperti dikatakan oleh Pramoedya Ananta Toer bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian.

Ya. Dengan menulis, orang tidak selesai pada penyampaian ide. Tetapi di dalamnya terdapat goresan sejarah dirinya yang kelak akan dikenang dan dinikmati oleh pembacanya.

Gelar selebritisnya tidak semu, yang mungkin hilang dalam sekejap dimakan waktu seperti selebritis-selebritis biasanya. Karya seorang penulis mampu meruang dan mewaktu untuk siapa saja dan kapan saja.

Read More......

Minggu, Juni 22, 2008

Busanamu Itu Lho Nak……!


“Dress is powerfull signifier of historical time, age, gender, class, religious and political orientations”
---- Jean Gelman Taylor


Sejarah pakain adalah sejarah pertemuan, lahir bukan tercipta dari ruang yang hampa, ada benturan-benturan peristiwa terjadi, bongkahan-bongkahan sejarah tercipta. Seperti yang tuturkan Taylor pakaian adalah kekuatan penanda dari sejarah waktu, usia, gender, kelas dan bahkan orientasi politik.

Setiap bangsa, suku punya pakian adat yang memberikan ciri khas dari bangsa tersebut. Dalam pakaian tersebut terdapat karakter kepribadian yang membiaskan dirinya.

Bahkan menurut agama, pakaian tak sebatas tanda, tapi penutup "aurat", di dalamnya diatur organ tubuh yang mana seharusnya ditutup oleh pakaian. Karena bagian yang ditutup terdapat rahasia yang tidak etis jika diperlihatkan oleh semua orang.

Di Jawa sendiri ada adigium "ajinhing raga ono ing busono, ajining ati ana ing lati" bahwa dihargainya sebuah raga karena dikenakan busana yang sopan pula. Dalam arti yang lebih spesifik untuk bisa menghargai diri sendii pakailah busana yang sesuai dengan adat dan norma yang berlakau, seperti yang dikatakan Taylor tadi bahwa pakaian adalah layaknya penanda.

Nilai-nilai itu yang diajarkan baik oleh ajaran agama maupun adat di Indonesia terutama di jawa. Menutup aurat dikala keluar dari rumah adalah suatu keniscayaan, biarpun pakian itu nampak lusuh, meskipun hanya berapa helai yang dipunyai akan tetapi diusahakan yang dipakai adalah pakaian yang kiranya bisa menutup suatu hal yang sakral, dalam artian bisa dinikmati baik mata maupun raba oleh keluarganya sendiri.


Namun seiring dengan berjalannya waktu, sejalan dengan lebih terbukanya ruang, nilai-nilai itu semakin kabur terhempas oleh arus moderenisasi, konsumerisme, hedonisme yang ujung-ujungnya adalah budaya materialisme.

Nilai kesopanan dalam berbusana tidak lagi diperhatikan, cirikhas pakain suatu adat tertentu tidak lagi dikenakan. Orang-orang sekarang terutama generasi muda lebih senang suatu yang simple meskipun tanpa nilai, nilai rasa pakewuh, malu semakin luntur dan yang semakin tumbuh adalah budaya cuek.

Seperti yang nampak di mall-mall, di ruang-ruang publik, banyak perempan-perempuan usia muda berpakain nanggung, berawal dari busana ketat yang memperlihankan bentuk dan struktur tubuh, berlanjut dengan memperlihatkan separuh dada yang terkadang memperlihatkan tali bra, dan terus ke bawah memakai desain pakain yang memperlihatkan batas antara perut dan suatu sacral bagi wanita. Bahkan ada yang lebih lucu lagi, atasnya memakai jilbab tapi bawahnya juga diperlihatkan seperti celengan.
Mereka yang ditiru dan yang dibeli adalah apa yang ada di TV dan yang diperlihatkan di media-media biar nampak keren meskipun melupakan norma-norma. [Amin Fauzi]



Read More......

Sabtu, Juni 07, 2008

Cantik Tak Harus Putih


"Cantik adalah konstruksi sosial belaka"
--- Dian Sastro Wardoyo.

Kutipan di atas penah terucap oleh Dian Sastro tatkala bincang-bincang soal kecantikan di salah satu stasiun TV swasta. Yang mengkritisi obesesi kecantikan orang-orang Indonesia yang melihatnya dari luarnya saja.

Ya. Akhir-akhir ini banyak iklan televisi mengenai produk-produk kecantikan yang menjanjikan merubah kulit menjadi lebih putih hanya dalam beberapa minggu, entah Pond White Lotion, Citra White, Emeron White, Sari Ayu White dan lain sebagainya dengan model-model cantik berkulit bersih yang pada intinya mengajak masyarakat untuk berkulit putih.

Kulit putih menjadi obsesi kecantikan orang Indonesia. Cantik adalah putih, itulah yang selalu dicitrakan oleh media maupun kebanyakan orang. Di sinetron-sinetron televisi banyak juga artis-artis yang menngkonstruksikan bahwa wanita cantik adalah wanita berparas putih, semampai, hidung mancung, gaya bahasanya agak keingris-ingrisan, yang seakan-akan seperti postur perempuan-perempuan barat.

Sehingga dalam banyak sinetron yang memasang perempuan Indo yang lebih mengandalkan fisik dari pada acting yang bagus. Dan bahkan banyak juga artis-artis Indonesia yang menikah dengan orang barat.

Dari pencitaan yang disampaikan media tersebut, secara kritis dimanfaatkan oleh perngusaha kecantikan untuk membuat produk yang bisa membuat kulit menjadi putih, dan anehnya masyarakat menerima dengan mentah pencitraan tersebut, sehingga banyak perempuan larut dan bahkan ketagihan untuk menggunakan produk-produk pemutih.

Idealime Kecantikan
Padahal kalau mau menginstropeksi diri sendiri, setiap bangsa, budaya punya karakter kulit tersendiri dan punya idealisme kecantikannya tersendiri. Di Indonesia khususnya Jawa, masyarakatnya mempunyai ciri khas kulit kuning langsat atau sawo matang. Di kalangan elit Jawa sendiri juga tidak mendambakan kulit putih, bahkan putri-putri keraton untuk menjadi cantik dia mendambakan kulitnya untuk menjadi kulit langsat.

Cantik sesungguhnya adalah suatu yang abstrak. Dalam literatur Jawa, idealisme kecantikan bukan terletak pada fisik semata, tetapi penggambarannya terletak pada metafora-metafora alam yang meninsyaratkan akan keindahan.

Dalam Sarat Kakawin yang ditulis ulang oleh Helen Creese yang berjudul The Embodiment of Female Beauty in Kakawin literature. Literature yang berisi tentang kumpulan puisi ini yang dulu dikenal dengan nama Dwi Dwipa, pada zaman ketika budaya jawa belum mempuyai hubungan kontrak dengan budaya barat/Eropa.
Dalam buku tersebut menggambarkan idealitas kecantikan peempuan melalui puisi, dalam salah satunya kutipan misalnya: Daun asoka adalah pinggangmu/ indahnya kuning kelapa gading seindah payudaramu/ indahnya lambaian tanaman gadung adalah juntai tanganmu/teratai biru adalah indah matamu/remang bulan seperti berganti siang karena kecantikanmu/merana karena hilangnya cahaya/berapapun banyaknya puisi yang ada di muka bumi ini/ takkan pernah cukup untuk melukiskan pesona kecantikanmu/.
Kesan jelas yang bisa dilihat dari kutipan puisi di atas adalah bersifat metaforis, yang menggunakan benda-benda alamiah seperti bunga, daun asoka, kelapa gadng, teratai untuk melukiskan keindahan pesona kecantikan fisik seorang perempuan yang semuanya itu bersifat abstrak dan tidak menunjukkan karakter warna.
Adapun menganai idealime kulit cantik orang jawa seperti disebutkan dalam buku tersebut melalui kutipan puisinya tertulis: tangganya panjang seperti seperti pangkian anak panah/rambutnya gelombang dan hitam sekali/giginya seperti biji buah mentimun/tubuhnya langsing kuat/ warna kulitnya kuning seperti kunyit/ matanya sering berkedip seperti bila tertiup angin/anak rambutnya banyak/semua itu menambah pesona ayumu/.
Dalam kutipan tersebut jelas disebutkan bahwa cantik orang jawa adalah jika mempunyai kulit kuning seperti kunyit bukan putih seperti yang dicitrakan oleh produk-produk iklan masa kini.
Jika media mencitrakan cantik itu putih, itu hanya sebuah bentuk kolonialsme baru yang manganjurkan perempuan Indonesia untuk berkulit putih melalui hegemoni media.
Orang Indonesia punya karekter sendiri, punya idealisme kecantikan tersendiri. wisatawan-wasatawan manca negara yang berkunjung ke Indonesia saja sukanya berjemur di pantai dengan harapan bisa menggelapkan kulit putihnya, justru orang Indonesia ingin memutihkan kulitnya.
Sudah saatnya perempuan Indonesia kritis terhadap media dan kritis produk-produk kecantikan yang di tawarkan oleh perusahan pembuat kecantikan, bukan saatnya lagi menerima secara mentah-mentah.
Cantik tak harus putih, dalam sebuah filsafat Coufusius mengatakan bahwa Everything has beauty, but not everyone sees it.(Semuanya mempunyai kecantikan, tetapi tidak semua orang dapat melihatnya). Beauty is in the eye of the beholder. tanpa hati dan perilaku yang baik, kulit putih dan paras cantik bukan berarti apa-apa. [Amin Fauzi]


Read More......

Senin, Mei 19, 2008

menepis kerakusan manusia


Hobi manusia menumpuk-numpuk harta benda bisa menambah kekeringan spiritualitas


Saat ini manusia memang berada di tengah peralihan sejarah yang menentukan. Dunia yang di ciptakan oleh lebih dari tiga abad moderenisasi ini telah mengirimkan sinyal bahaya menyangkut kompleksitas interaksi ekologi yang menopang kehidupan di bumi.
Rentetan bencana melanda berbagai wilayah di Indonesia.Ada yang terjadi karena proses alamiah dan akibat ektifitas lempeng-lempeng kerak bumi dan banyak di sebabkan oleh ulah manusia sendiri.
Kegiatan manusia, khususnya dalam hal produksi dan konsumsi energi untuk menciptakan berbagai sarana yang menunjang “kenyamanan” hidup telah membuat atmosfer bumi seperti bejana raksasa berisi gas-gas buangan yang volumenya sama-sama besar.
Sehingga banyak memakan banyak korban rakyat nusantara ini, masyarakat Aceh yang belum pulih dari penderitaan akibat tsumani, setelah itu di berbagai daerah dirundung oleh banjir yang bertubi-tubi, ribuan orang terpaksa mengungsi. Ratusan rumah dan sawah rusak di landa banjir.
Penyebab terjadinya bermacam bencana ini dikarenakan oleh kerakusan, ketamakan dan kecongkaan sifat manusia yang hanya berfikir jangka pendek demi kepentingan dan keuntungan pribadi belaka.
Harian International Herald Tribune Sabtu-Minggu-Senin 29-30 april, 1 Mei 2006 halaman pertama memuat artikel berjudul: The end of Borneo’s tropical forest?. Pembicaraan telah dimulai dari kalangan RI dan pihak Cina untuk menjual hutan dan menebang pohon-pohon Merbau. Pada tanggal 19 April 2006, Indonesia mengumukan bahwa Cina telah memesan 1 milyar dolar untuk 800.000 meter kubik kayu demi mempersiapkan konstruksi fasilitas olahraga olimpiade 2008. (Etty Indriyati, 2007:36)
Sehingga benar seperti yang paparkan oleh Badan Pangan Dunia, FAO menyebut laju pengahancuran hutan di Indonesia sepanjang 2000-2005 sebagai yang tercepat di dunia. Setiap tahun rata-rata 1,871 juta hektar hutan hancur atau 300 lapangan sepak bola setiap jam. Kehancuran 2 persen dari luas hutan yang tersisa dari luas hutan yang tersisa itu jauh melebihi Zimbabwe, Myanmar, dan bahkan Brasil.
Sehingga akibatnya pun jelas, hujan yang terus menerus membanjiri daerah yang berdataran rendah, kasus terdekat yaitu kota Jakarta seketika di genangi oleh banjir akibat hujan yang terus beruntun.
Hujan yang terus menerus menyebabkan tanah longsor di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera utara mengakibatkan 21 orang tewas. Hutan alam Riau yang terus menerus ditebang sekarang hanya tersisa 5 %. Di Wonogiri Jawa Tengah, gagal panen akibat kekringan. Untuk mencukupi kebutuhan air sawah di daerah itu diperlukan 100 unit sumur petak dan 77 unit pompa air, rehabilitasi embung rakyat senilai Rp 231,4 milyar dan rehabilitasi hutan Rp 223,9 miliar. Suatu jumlah yang sangat besar yang seharusnya tidak perlu dibayar apabila lingkungan ditata dan penataan ditaati sesuai daya dukung lingkungan yang dimiliki.
Kegiatan manusia, khususnya dalam hal produksi dan konsumsi energi untuk menciptakan berbagai sarana yang menunjang “kenyamanan” hidup telah membuat atmosfer bumi seperti bejana raksasa berisi gas-gas buangan yang volumenya sama-sama besar.

Para ahli menyebutnya gas buangan itu sebagai gas-gas rumah kaca, terdiri dari berbagai jenis gas; anatara lain, metana (CH4) dan Nitrogen oksida (NO), tetapi kompoen terbesarnya adalah karbon dioksida (CO2). Lama usia kilogram gas dalam atmosfer, seperti pernah dipaparkan Prof Emil Salim, adalah 50-200 tahun untuk karbon dioksida, 12 tahun untuk metahana, 114 tahun untuk karbon dioksida.
Emisi gas-gas rumah kaca itu membentuk selubung yang semakin tebal, membuat temperatur di bumi naik, diprediksi mulai satu sampai tiga derajat Celcius pada abad ini dan berpotensi mengubah pola cuaca secara ekstrem, bencana sudah di depan mata, kalau manusia tidak ingin mengubah cara hidupnya.
Begitulah bahasa sederhana dari inti laporan Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) tentang dasar sains perubahan iklim yang dirilis di paris baru-baru ini.
Menurut Proyek karbon Global (The Global Carbon Project) pada tahun 2005 sekitar 7,9 ton CO2 dilepaskan ke atmosfer. CO2 sebagai gas rumah kaca sebagian besar oleh aktifitas manusia. Konsumsi energi di era industri melecut pelepasan CO2 yang semakin melipat.
Dapat dikatakan kenaikan temperatur bumi yang cukup signifikan tidak bisa lepas dari konsumsi energi manusia yang sedemikian tinggi pada massa kini. Efek rumah kaca yang antropogenik inilah mulai menggangu keseimbangan pengaturan suhu permukaan bumi. Diperkirakan temperatur bumi semakin meningkat. Perubahan iklim yang ekstrem mulai terjadi.
Sebagian akibatnya sudah nampak, banjir yang makin hebat dan kekeringan berat, ledakan penyakit-penyakit yang timbul melalui vector malaria, demam berdarah dan flu burung, hasil panen merosot, kelaparan, malnutrisi, rusaknya ekosistem laut dan punahnya sekitar 15-40 persen spesies keragaman hayati yang mendukung keberlanjutan kehidupan.

GAIA: Bumi Sebagi Organisme Hidup
Untuk memahami persoalan ini, James Lovelock pemikir asal Inggris mengarahkan perhatianya pada bumi dan mencetuskan gagasan mengenai Gaia.
Gagasan utama dalam hipotesis Gaia menyatakan bahwa Bumi merupakan organisme hidup. yakni suatu superorganisme baik yang mencakup biotik maupun abiotik, biosfer dan lingkunganya sebagai kesatuan yang membentuk sistem pengaturan dan pemeliharaan diri.
Terdapat ciri umum kehidupan yang dapat ditemukan di bumi, yakni adanya pengurangan entropi. Pengurangan entropi ini terjadi di daerah sabuk penghantar bumi di mana medianya adalah wilayah berair dan atmosfer bumi. Di daerah ini terdapat aktifitas kehidupan yang melibatkan biosfer dan lingkunganya. Biosfer memanfaatkan energi dan materi yang terdapat dalam lingkungan bumi baik yang terdapat dalam di laut, udara dan kerak bumi. Aktifitas kehidupan ini juga disertai dengan pembuangan limbah menuju lingkunganya.
Hal ini memperlihatkan bahwa bumi merupkan sistem terbuka. Sistem terbuka menjadi ciri mendasar setiap organisme hidup. Dalam sistem terbuka, terjadi perpindahan materi dan energi dari sistem menuju lingkungan dan sebaliknya.
Pemikiran yang tertuang dalam hipotesis Gaia juga mengakibatkan perubahan mendasar dalam cara pandang manusia, baik terhadap dirinya sendiri maupun dunia di mana manusia hidup. Manusia adalah bagian integral Gaia yang turut serta dalam sistem pengaturan dan pemeliharaan diri tersebut menjadi kunci keberlangsungan Gaia dan manusia yang menjadi bagian integralnya.
Keberlangsungan spesies manusia beserta aktivitasnya sangat tergantung dari sistem pengaturan Gaia dan wilayah-wilayah inti Gaia tersebut. Dalam Gaia, manusia bersama unsur-unsur lain dalam Gaia bekerja sama membangun sistem pengaturan tersebut. Manusia turut dipengaruhi oleh sifat mendasar Gaia, yakni pemeliharaan homeostasis dan sistem sibernetika. Jika kehadiran manusia sampai merusak pengaturan Gaia, maka petaka sibernetik yang bersifat planeter tidak dapat terhindarkan. Itu juga petaka bagi manusia.
Jadi rusak dan lestarinya bumi salah satunya bergantung pada perilaku manusianya juga baik perilaku yang sifatnya fisik maupun spiritual, karena memang seperti dikatakan di atas tadi bumi telah kehilangan jiwa Gaianya.

KRISIS SPIRITUAL MANUSIA
Sejatinya manusia telah merindukan kehijauan pohon, gemercik suara air, tari-tarian ranting dedaunan dalam embusan angin, dan pertukaran oksigen yang diambilnya dari ruangan fotosintesis hijau dedaunan, yang bergantian mengambil karbon dioksida yang di buang dari hembusan nafas manusia.
Tapi kini manusia menyita semua alam ini dengan kerusakan-kerusakan, manusia menyita simpanan kekayaan alam sehabis-habisnya, hutan, gunung, sawah, lautan, semua dihilangkan tanpa memikirkan akibatnya.
Sebenarnya orang-orang terdahulu atau nenek moyang kita jauh lebih arif dalam membatasi jumlah kelahiran keluarganya, supaya tidak menghabiskan hasil hutan dan binatang buruan. Manusia dulu juga arif dalam mengelola alam, sebatas keperluan hidup sehari-hari, tidak mengambil sebanyak-banyaknya lalu di jual ke bagian alam lain demi kepentingan semaksimal mungkin untuk menghidupi tujuh keturunan keluarga besarnya sendiri.
Kerinduan akan alam yang asri menyiratkan kerinduan berinteraksi dengan makhluk hayati yang merupakan saudara hayati kita karena unsur-unsur biologis di tubuh manusia sama yang ada pada zat hayati lain. Krisis spiritual muncul ketika manusia jarang bersentuhan dengan alam yang menyediakan energi bagi kelangsungan hidupnya.
Manusia tidak lagi menyadari, betapa alam menyediakan dengan gratis, betapa watt matahari memberi listrik di siang hari, berupa juta kubik paru-paru mendapat oksigen dari udara yang mengalir dari darahnya, berapa juta mikroba dan insekta mengambalikan manusia ke alam keabadian sehingga kolera tidak merajalela. Ironis karena perkembangan cara mencari makan dengan mendapat gaji dan ekonomi pasar menjauhkan manusia dari perolehan makan langsung dari rantai alam.
Semakin berlimpah ruah benda mati yang manusia tumpuk sebagai harta benda, semakin menjauhkan manusia dari asal usulnya dan semakin kering spiritualnya. (Amin Fauzi)


Read More......

Senin, Februari 11, 2008

My Valentine



Bulan Februari telah tiba, bunga, coklat, boneka, kartu ucapan, banyak menghiasi rak-rak mall. Begitu pula spanduk, baleho, poster makin banyak meramaikan tiang
dipinggir jalan raya. Tempat hiburan seperti Kafe dan mall juga kian ramai di banjiri tulisan-tulisan dan agenda untuk menyambut peringatan hari valentine.

Karena bulan Februari adalah momentum untuk meluapkan kasih sayang pasangan untuk lawan jenis atau sering di sebut hari valentine. Pada momentum itu tukar menukar
kartu ucapan dilakukan, pesta dirayakan bahkan banyak agenda remaja yang bertemakan valentine.


Kata-kata dan pernak-pernik corak warna pink dan biru muda memenuhi ruangan sebagai simbol kasih sayang mewarnai banyak mal-mal untuk menghiasi bulan ini, kata-kata bak mantra itu dititahkan untuk mengambarkan diaspora remaja untuk saling meluapkan rasa kasih sayang.

Ya. Tepatnya tanggal 14 februari adalah hari yang disebut dengan hari valentine (kasih saying). Sebanarnya The World Book Encyclopedia (1998) melukiskan banyaknya versi mengenai Valentine's Day :

Some trace it to an ancient Roman festival called Lupercalia. Other experts connect the event with one or more saints of the early Christian church. Still others link it with an old English belief that birds choose their mates on February 14. Valentine's Day probably came from a combination of all three of those sources--plus the belief that spring is a time for lovers.

Perayaan Lupercalia adalah rangkaian upacara pensucian di masa Romawi Kuno (13-18 Februari). Dua hari pertama, dipersembahkan untuk dewi cinta (queen of feverish love) Juno Februata. Pada hari ini, para pemuda mengundi nama? nama gadis di dalam kotak. Lalu setiap pemuda mengambil nama secara acak dan gadis yang namanya keluar harus menjadi pasangannya selama setahun untuk senang-senang dan obyek hiburan. Pada 15 Februari, mereka meminta perlindungan dewa Lupercalia dari gangguan srigala. Selama upacara ini, kaum muda melecut orang dengan kulit binatang dan wanita berebut untuk dilecut karena anggapan lecutan itu akan membuat mereka menjadi lebih subur.



Ketika agama Kristen Katolik masuk Roma, mereka mengadopsi upacara ini dan mewarnainya dengan nuansa Kristiani, antara lain mengganti nama-nama gadis dengan nama-nama Paus atau Pastor. Di antara pendukungnya adalah Kaisar Konstantine dan Paus Gregory I (lihat: The Encyclopedia Britannica, sub judul: Christianity).

Agar lebih mendekatkan lagi pada ajaran Kristen, pada 496 M Paus Gelasius I menjadikan upacara Romawi Kuno ini menjadi Hari Perayaan Gereja dengan nama Saint Valentine's Day untuk menghormati St.Valentine yang kebetulan mati pada 14 Februari (lihat: The World Book Encyclopedia 1998(

The Catholic Encyclopedia Vol. XV sub judul St. Valentine menuliskan ada 3 nama Valentine yang mati pada 14 Februari, seorang di antaranya dilukiskan sebagai yang mati pada masa Romawi. Namun demikian tidak pernah ada penjelasan siapa St. Valentine termaksud, juga dengan kisahnya yang tidak pernah diketahui ujung-pangkalnya karena tiap sumber mengisahkan cerita yang berbeda.

Menurut versi pertama, Kaisar Claudius II memerintahkan menangkap dan memenjarakan St. Valentine karena menyatakan tuhannya adalah Isa Al-Masih dan menolak menyembah tuhan-tuhan orang Romawi. Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan. Orang-orang yang mendambakan doa St.Valentine lalu menulis surat dan menaruhnya di terali penjaranya.

Versi kedua menceritakan bahwa Kaisar Claudius II menganggap tentara muda bujangan lebih tabah dan kuat dalam medan peperangan dari pada orang yang menikah. Kaisar lalu melarang para pemuda untuk menikah, namun St.Valentine melanggarnya dan diam-diam menikahkan banyak pemuda sehingga iapun ditangkap dan dihukum gantung pada 14 Februari 269 M (lihat: The World Book Encyclopedia, 1998).

Kebiasaan mengirim kartu Valentine itu sendiri tidak ada kaitan langsung dengan St. Valentine. Pada 1415 M ketika the Duke of Orleans dipenjara di Tower of London, pada perayaan hari gereja mengenang St.Valentine 14 Februari, ia mengirim puisi kepada istrinya di Perancis. Kemudian Geoffrey Chaucer, penyair Inggris mengkaitkannya dengan musim kawin burung dalam puisinya (lihat: The Encyclopedia Britannica, Vol.12 hal.242 , The World Book Encyclopedia, 1998(

Lalu bagaimana dengan ucapan Be My Valentine? Ken Sweiger dalam artikel? Should Biblical Christians Observe It (www.korrnet.org) mengatakan kata "Valentine" berasal dari Latin yang berarti : Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuat dan Yang Maha Kuasa. Kata ini ditujukan kepada Nimrod dan Lupercus, tuhan orang Romawi. Maka disadari atau tidak, -tulis Ken Sweiger- jika kita meminta orang menjadi to be my Valentine.
Beralih rupa

Namun sejarah keagamaan tersebut telah berbelok jauh dari substansinya. Kini yang telah membudaya adalah hari valentine sering diartikan hanya dengan hari kasih sayang antara lawan jenis, dengan mengimplikasikanya melalui hubungan atau bermesraan pasangan.

Hari bersejarah untuk memperingati dan menghormati St.Valentine yang kebetulan wafat pada 14 Februari dan perayaan hari suci yang penuh hikmat, yang diperingati di tempat ibadah yaitu gereja dengan mengharap bahwa dan berdoa agar tuhan selalu melindungi kepada manusia.

Akan tetapi nilai-nilai tersebut hanya ada dalam cerita teks saja. Realitasnya sekarang telah beralih rupa dengan budaya hedonis dengan melaksanakanya melalui konser musik, makan-makan di kafe, tukar menukar coklat, bunga dan lainya dengan mengatas namakan menyambut hari valentine tetapi ujung pangkalnya adalah budaya konsumerisme.

Kebanyakan para remaja sekarang, memperingai hari valentine hanya berdasarkan arus budaya yang telah mengakar pada lingkunganya, tanpa mengetahui sebab musabab asal dari perayaan hari tersebut, sehingga yang terjadi adalah kesalah pahaman pada hari perayaan tersebut. (amin fauzi)

Read More......