Jumat, September 28, 2007

Mana Untung, Mana Buntung


Setiap tahun Jawa Tengah akan kehilangan 2.500 ton produksi beras
akibat pembangunan jalan tol Semarang-Solo.

Untuk mengejar ketertinggalan dari daerah lain seperti Jawa Timur dan Jawa Barat dalam hal laju ekonomi serta memperlanjar jalur transportasi, pembangunan jalan tol Semarang-Solo adalah sebuah keharusan dan keputusan yang mutlak.

Ir. Danang Atmojo MT, Kepala Dinas Bina Marga Provinsi Jawa Tengah mengatakan itu sebagai syarat mati, pasalnya jalur utama yang menghubunghkan kedua Kota tersebut sering terjadi kemacatan “makanya kita harus membuka jaringan baru,” ungkap pria yang ikut mengisi seminar tentang “Percepatan Pembangunan Tol Semarang-Solo Dan Peningkatan Ekonomi Masyarakat” yang di selenggrarakan oleh Kelompok Diskusi
Wartawan Provinsi jawa tengah 25 Juli 2007 lalu.

Pembangunan jalan yang di anggarkan dana sebesar Tujuh Trilyun dan sudah direncanakan sejak tahun 2005 ini rencananya akan di realisasikan pada tahun 2007 dengan panjang sekitar 75,8 km sepanjang jalur anatara Semarang–Solo yang akan melintasi wilayah kota/kabupaten yang terdiri atas lima seksi yakni Tembalang-Ungaran (11,2 km), Ungaran-Bawen (11,9 km). Bawen-Salatiga (18,8 km), Salatiga-Boyolali (20,9 km). dan Boyolali-Karang Anyar (13 km). “sesuai rencana awal sebenarmya pembangunan ini di laksanakan tahun 2006, namun karena berbagi hal, sehingga di undur,” imbuh Danang.

Danang meyakinkan pembebasan lahan untuk membangun jalan tol Semarang-Solo tidak akan merugikan masyarakat. ”Dalam Perpres Nomor 36 Tahun 2005, pembebasan lahan bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum mengacu pada harga pasar,” kata Danang.

Masih menurut Danang, bahwa pembangunan akan membawa banyak keuntungan pada sektor ekonomi Jawa Tengah “semakin cepat pembangunannya maka semakin bagus,” imbuhnya.
Hal senada juga dijelaskan oleh Didik Sukmono, Ketua Komite Tetap Pengembangan Investasi Kadin Jawa Tengah, bahwa kalau ditinjau dari sisi ekonomi investasi Jawa Tengah sampai saat ini masih jauh tertinggal dari pada Jawa Barat dan Jawa Timur


Apalagi sampai akhir Agustus nanti one stop service akan di laksanakan di tiap-tiap Kabupaten, makanya kelancaran transportasi adalah suatu keniscayaan bagi masyarakat Jawa Tengah dan solusinya pembangunan jalan tol itu, “karena apabila tol itu benar-benar di bangun, paling tidak kita akan mendapatkan banyak keuntungan dalam hal laju industri, “ tutur Didik.

Didik mencontohkan, keuntungan pembangunan jalan tol adalah misalnya untuk memperlancar distribusi barang sehingga cost dapat ditekan, membuat acaun untuk membikin tata ruang yang lebih rapi, juga akan berdirinya rumah makan atau rest plece (tempat peristirahatan) di antara jalur tersebut, “namun kendalanya adalah adanya keberatan bagi pemilik tanah atau kendala ganti bagi pemiliknya,” imbuhnya.
Menurut Didik solusinya adalah selain ganti rugi uang juga berbentuk saham atau menyerehakan inbreng, “namun diprediksikan inbreng akan kembali dengan waktu sekitar 50 tahun yang akan datang,” imbuhnya lagi.

Pengamat transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Djoko Setijowarno menilai bahwa pembuatan jaringan baru memang salah satu cara untuk mengatasi kemacatan. Namun hal ini belum tentu bisa mengatasi masalah secara keseluruhan, baik aspek geografis, demografis, politis, ekologi, sosial masyarakat yang wilayahnya terkena proyek ini.

“Bagaimana dengan nasib para petani yang lahannya terkena proyek ini. Mereka hanya petani, meskipun diberi dana penggantian, mereka akan kesulitan karena hanya itu keahlian mereka, dan tidak punya ketrampilan dalam hal kewirausahaan,” imbuhnya.

Djoko mencontohkan, setalah ada tol Cipularang Jawa Barat saat ini akses lalu lintas memang relatif lancar. Namun kawasan yang dulu banyak usaha kecilnya (penginapan, rumah makan), sebagaian besar sudah tutup. “Untuk Semarang-Solo, dari Banyumanik hingga Bawen ada banyak SPBU, rumah makan dan penginapan, Setelah tol dibangun bagaimana? Ini juga harus dipikirkan,” ujarnya.

Masih menurut Djoko bahwa menurutnya, secara geografis maupun ekologis area yang akan dibangun jalan tol adalah wilayah pertanian, dimana lahan pertanian di daerah tersebut sangat potensial, dan 30 persennya adalah hutan lindung dan 10 persen terkena jalan tersebut yang akan dibangun.

“Kalau wilayah tersebut benar-benar akan dibangun efeknya bagi lingkungan akan berbahaya, kalau hutan-hutan itu ditebang, daerah bawah akan banjir, padahal daya serap hutan itu sangat tinggi” terangnya.

Apabila lahan tersebut akan dibangun, maka akan terbagun lima kali lipat dari lahan yang di gunakan, biasanya akan muncul bengkel, restoran, dan toko-toko disampinya terebut. “Sebenarnya Jawa Tengah ini mengidentifikasi sebagai daerah apa? Agraris atau industri? Kalau memang pertanian mengapa dipangkas habis-habisan?,” Djoko menanyakan.

Menurut Kepala Subdinas Sarana dan Prasarana Pertanian Jateng Hari Tri Hermawan, Jawa Tengah (Jateng) akan kehilangan 2.500 ton produksi beras per tahun akibat pembangunan jalan tol Semarang-Solo. Proyek yang melewati enam kabupaten/kota ini akan memakan 311 hektare areal persawahan. "Dengan hilangnya 311 hektare sawah, dalam setahunnya, Jateng akan kehilangan 2.500 ton beras," katanya.

Menurutnya, jumlah tersebut masih bisa bertambah, tergantung pelaksanaan proyek. Jika sesuai rencana, proyek tol Semarang-Solo akan dimulai pembangunannya awal 2007. Akhir tahun ini, ditargetkan proses pembebasan tanah sudah selesai. Enam daerah yang dilewati proyek ini adalah Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Salatiga, Boyolali, Karanganyar, dan Sukoharjo.

Meski akan mengurangi produksi beras di provinsi ini, Badan Bimas Ketahanan Pangan setempat memastikan tidak sampai mengurangi ketahanan pangan Jateng. "Berkurangnya produksi beras akibat proyek tol tidak mengakibatkan Jateng minus beras," kata Gayatri Indah Cahyani.

Saat mengutip data Pemprov Jateng, dia menyebutkan, lahan sawah yang bakal terkena seluas 3.135.063 meter persegi. Sementara itu, lahan perumahan warga mencapai 1.097.137 meter persegi, tegalan 1.504.500 meter persegi, dan hutan 2.683.751 meter persegi. ''Dari data itu, dapat diperkirakan bahwa masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani yang paling terkena dampaknya,'' kata dia.

Lahan persawahan di Kota Semarang yang bakal terkena seluas 119.630 meter persegi. Kemudian di Kabupaten Semarang mencapai 1.644.815,5 meter persegi, Kota Salatiga (177.752 meter persegi), Kabupaten Boyolali (967.546 meter persegi), dan Kabupaten Karanganyar (225.320 meter persegi). ''Dengan hilangnya lahan garapan tersebut, nanti mereka akan menjadi pengangguran,'' katanya.

Jawa Barat, menurutnya, memiliki jalan tol sepanjang 237 km, Jawa Timur 62 km, DKI 106 km, dan Sumatera Utara 37 km. Panjang jalan tol di Jateng saat ini baru mencapai 25 km. Jika jalan Tol Semarang-Solo sepanjang 75,87 km dibangun, total panjang jalan tol di Jateng mencapai 100,87 km.

Jalan tol Semarang-Solo akan dibangun per lajurnya selebar 3,6 meter, bahu luar jalan selebar tiga meter, bahu dalam 1,5 meter, dan lebar median 5,5 meter. Dengan spesifikasi ini, lebar jalan tol Semarang-Solo minimal mencapai 40 meter.

Djoko Setijowarno mempertanyakan tujuan pembangunan tol untuk kepentingan masyarakat. ”Masyarakat yang mana? karena dalam sejarah selama ini tidak ada masyarakat sekitar jalan tol yang menjadi sejahtera setelah wilayah mereka dilewati jalan tol. Yang ada juga tanah mereka menjadi berkurang karena tergusur untuk pembangunan jalan tol,” kata Djoko.

Soal Peraturan Presiden (Perpres) No 36/2005 yang menjadi dasar pembangunan , kata Djoko, jelas tujuannya bukan untuk kepentingan umum, melainkan lebih untuk kepentingan bisnis. Seperti pembangunan jalan tol, lebih untuk memperlancar bisnis atau kegiatan ekonomi sekelompok orang atau golongan dari pada masyarakat, terutama masyarakat yang lahannya tergusur.

Selain itu, masyarakat juga tidak pernah merasakan manfaat dari adanya proyek-proyek tersebut. Mereka tidak bisa menikmati proyek tersebut dalam arti sesungguhnya, mendapatkan keuntungan atau kemudahan karena proyek tersebut. Mungkin satu-satunya ”keuntungan” mereka adalah dapat menikmati (baca: melihat) wujud proyek-proyek tersebut yang biasanya identik dengan modernisasi atau kemajuan teknologi.
Menurut Djoko Kalau memang terpaksa akan di bangun tol lebih baik membangun tol di atas jalan yang sudah tersedia meskipun mahal tetapi secara makro tidak mahal.

Berbalik dengan Djoko, Noor Achmad, anggota DPRD Jawa tengah komisi A menilai pembangunan jalan tol Semarang-Solo adalah hal yang mutlak karena untuk mengejar ketertinggaan dari daerah lain. “Tapi yang harus di lakukan pemerintah adalah harus adanya sebauah kesepemahaman bersama antara pemerintah dan masyarakat, yaitu dengan memberikan sosialisasi yang sejelas-jelasnya sehingga tidak terjadi alah paham,” ungkap pria yang juga menjabat sebagai Rektor Universitas Wahid Hasyim ini.

“Sosialisasinya juga harus transparan, sehingga masyarakat lebih mengerti dan memahami keuntungan maupun kerugiannya, baik secara ekonomis, sosiologis bahkan antropologis religius,“ imbuhnya. (Amin Fauzi)

*ulisan ini juga di muat di tabloid edisi 109 SKM AMANAT IAIN Walisongo Semarang.


Read More......

Yang Beda dari KKN PBA


Tujuan KKN adalah pengabdian masyarakat. Bukan proyek.

Halaman Auditorium I nampak ramai. Tempat yang biasanya sepi itu, Senin (9/7/2007), sekitar pukul 07.00 WIB dipenuhi oleh ratusan mahasiswa.
Bersama kelompoknya masing-masing, mereka mengikuti upacara pemberangkatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang segera diterjunkan di Kabupaten Kendal.

“KKN kali ini berbeda. KKN kali ini bersifat tematik, yaitu berkonsentrasi pada penuntasan buta aksara,” kata Rektor IAIN Walisongo Prof. Dr. Abdul Djamil, MA dalam sambutan upacara pelepasan KKN tersebut.

Memang, sejak tahun 2007 ini, 28 Perguruan Tinggi baik Negeri maupun Swasta di Jawa Tengah, bekerja sama dengan pemerintah Provinsi Jawa Tengah, mengarahkan orientasi KKN mahasiswa pada pemberantasan buta aksara (PBA).

Drs Mudhofi, M.Ag., sekretaris PPM IAIN Walisongo menegaskan, pada tanggal 12 April 2007, 28 Rektor perguruan tinggi dan Gubernur Jateng menandatangani MoU (Memorium of Understanding) atas program ini.

Kepala Renbang (Rencana dan Pengembangan) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah Drs Jasman Hendratno, M.Si., sang penggagas program mengatakan, KKN PBA ini berawal dari kegelisahan melihat begitu banyaknya msyarakat yang masih menyandang buta aksara.

Penelitian yang dilakukan HDI (Human Development Index), katanya, Indonesia menempati posisi ke-111 dari 117 negara penyandang buta aksara di dunia. “Di Indonesia, Jawa Tengah menempati posisi kedua terbanyak setelah Jawa Timur.”
Sementara dalam catatan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Subdin Pendidikan Luar Sekolah (PLS) dan Olah Raga tahun 2007, di Jawa Tengah, angka buta aksara mencapai 2,690,225 jiwa yang terbagi dalam 35 kabupaten/kota.


Berdasarkan penelitian HDI dan catatan dari Dinas Pendidikan itulah, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Inpres No. 5 tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara.

Jawa Tengah cepat menangkap instruksi presiden. Yaitu dengan menggandeng Mahasiswa KKN dalam program pemberantasan PBA tersebut. “Targetnya, setahun lagi tak ada penyandang buta aksara di Jateng,” tegas Jasman.

Sebelumnya, program serupa juga telah digalakkan. Yaitu dengan menggandeng berbagai organisasi seperti PKK, Muslimat, Aisyiyah, Fatayat NU dan sebagainya. “KKN ini merupakan salah satu cara agar lebih efisien dalam penuntasan buta aksara,” timpal Suwahyo, staf di PLS Diknas Jateng.

Model KKN PBA
Jelas ada yang beda dalam KKN PBA. Mahasiswa bisa berlega hati, karena tidak usah memikirkan membantu pembangunan fisk di Desa tempat mereka KKN.
Dalam KKN yang bekerja sama dengan Forkom (Forum Komunikasi) KKN Jateng ini, seluruh konsep, pengorganisasian dan koordinasinya diserahkan kepada perguruan tinggi masing-masing.

Ketua Forkom KKN Jateng Drs Subagyo M.Pd. mengatakan, konsep KKN PBA adalah mahasiswa diberi tugas khusus untuk melakukan bimbingan kepada masyarakat. “Dua mahasiswa membimbing satu kelompok belajar yang terdiri dari dua puluh warga.”
Tidak hanya dalam praktek di lapangan yang berbeda. Biaya dalam KKN PBA ini juga relative lebih ringan jika dibandingkan dengan KKN yang selama ini berlaku.

Jika dalam model KKN yang selama ini berlangsung mahasiswa harus merogoh kocek yang tidak sedikit, yang bisa mencapai pulahn juta, KKN PBA biayanya ditanggung oleh Pemerintah.
“Tahun 2007 ini Pemprov menyediakan 33 Milyar rupiah untuk KKN PBA ini. Perguruan tinggi hanya pelaksana,” tuturnya.

Mengenai besarnya biaya yang diterima oleh masing-masing perguruan tinggi, tergantung jumlah mahasiswa yang diterjunkan dalam KKN. Ukurannya adalah kelompok. Satu kelompok belajar terdiri dari 2 mahasiswa dengan anggaran Rp.3.320.000.
Karena itu, lanjut Jasman, untuk mengetahui jumlah subsidi per perguruan tinggi, tinggal mengalikan saja dengan jumlah mahasiswa peserta KKN yang ada.
“Kegiatan lain yang berhubungan dengan KKN, semuanya sudah ada anggaranya sendiri dan sudah diperhitungkan. Mulai pembekalan, transportasi, monitoring, semuanya sudah ada,” jelasnya.

Mudhofi kepada AMANAT menjelaskan, uang Rp.3.320.000 itu kegunaanya bukan cuma untuk mahasiswa, tapi untuk kebutuhan lain seperti living kost dan transport per mahasiswa sebesar 500.000 rupiah, jaket, topi almamater, buku panduan, alat tulis kantor (ATK) warga belajar, pembekalan, bahan anggaran pelaksanaan pengajaran, evaluasi, laporan akhir kegiatan dan transport monitoring untuk DPL.

“Di IAIN Walisongo ada 18 DPL. Tiap memonitoring dianggarkan Rp. 320.000 per DPL. Padahal tiap DPL wajib memonitoring sebanyak tujuh kali,” tambah Mudhofi.
Dan untuk tahun ini, tambah dosen Dakwah ini, IAIN Walisongo menerjunkan 360 mahasiswa di kabupaten Kendal yang tersebar di enam kecamatan, yaitu Sukerojo, Pageruyung, Plantungan, Gemuh, Ringin Arum dan Weleri. “Penempatan ini ditentukan oleh Dinas. Kita hanya pelaksana.”

Transparansi dana
Meski dana KKN PBA sudah di tanggung Pemprov., namun ternyata mahasiswa harus bayar juga. Selain itu, dana dari Pemprov juga disunat oleh pihak kampus.
Di IAIN Walisongo, peserta KKN hanya menerima Rp. 450.000 dari Rp. 500.000 yang seharusnya diterima. Sebelumnya, mahasiswa juga ditarik Rp.200.000. “Katanya untuk bayar transportasi,” kata salah seorang peserta.
Usut punya usut, uang Rp.50.000 yang disunat dari dana yang harus diterimakan kepada mahasiswa, adalah untuk biaya transportasi. “Lalu untuk apa uang 200.000 itu?” timpal peserta KKN yang lain.

Tak pelak, hal itu memunculkan pertanyaan diantara peserta KKN. Karena dana itu belum ada kejelasannya hingga sekarang. “Uang dua ratus ribu itu belum adapenjelasannya,” ungkap Zaqy Mubarok yang dibenarkan oleh Sidli Richanah.
Drs. Suriadi, MA., ketua PPM ini memang mengatakan, bahwa uang itu kembali kepada mahasiswa. Namun tidak dijelaskan secara rinci dalam bentuk apa.

Sementara Mudhofi mengatakan, uang itu digunakan untuk asuransi, konsumsi 7 kali dalam rapat koordinasi, Rp.100.000 untuk transport koordinator desa, Rp.150.000 untuk transport koordinator kecamatan, dan kunjungan kerja KKN.

Ketika AMANAT mencoba melakukan konfirmasi ke perguruan tinggi lain, memang ada yang membayar, tapi tidak sebesar IAIN. “Di UNNES ada biaya tambahan, tapi sedikit,” ungkap Subagyo dari Universitas Negeri Semarang ketika di hubungi via telepon..
Sementara perguruan tinggi lain, banyak yang gratis sama sekali seperti Universitas Muria Kudus (UMK).

Mahasiswa Bingung
Persoalan yang muncul dalam KKN model baru ini, tidak berhenti di sini. Karena tuntutan lain menghadap ketika para mahasiswa itu sudah diterjunkan ditengah-tengah masyarakat.

Persoalan itu adalah tuntutan bahwa satu mahasiswa harus bisa menuntaskan 10 warga buta aksara. Kalau IAIN Walisongo menerjunkan 360 mahasiwa, 3600 penyandang buta aksara harus bisa dientaskan.

“Mahasiswa diterjunkan di Desa selama 45 hari dan harus menyelesaikan kegiatan belajar mengajar kepada warga penyandang buta aksara selama 144 jam. Kalau tidak bisa dibuat kelas, mahasiswa harus mengajar dari rumah ke rumah,” ujar Jasman.
Kategori warga penyandang buta aksara, seperti dijelaskan dalam buku panduan, adalah orang yang tidak bisa membaca, menulis dan berhitung sama sekali ataupun mereka yang drop out kelas 1-3 Sekolah Dasar (SD).

Persoalannya, data penyandang buta aksara yang diberikan Diknas, belum tentu valid. Ini tentu membingungkan mahasiswa di lapangan. “Ketika saya cek warga yang ada di daftar, di lapangan banyak yang tidak ada orangnya,” keluh Muhammad Yusuf, peserta KKN di Desa Cepoko Mulyo Gemuh Kendal.

Akhirnya, Yusuf bersama kawan-kawan satu posko pun melakukan pendaftaran dan cek ulang terhadap data-data yang ada. Yaitu dengan mendatangi warga dari rumah ke rumah.

Parahnya lagi, tak sedikit daftar penyandang buta aksara yang diberikan Diknas, sudah ditangani oleh Fatayat NU, Aisyiah dan PKK. “Jadinya ya rebutan,” kata Yusuf.
Yang tragis, adanya penolakan terhadap tim KKN PBA. Seperti yang terjadi di Desa Gebang, Tlahap, Gemuh, Kendal, dengan alasan tidak mau menerima delegasi dari pemerintah.

Ya, suka duka KKN PBA itu, memang resiko. Tapi yang jelas, semoga ini bukanlah proyek semata atau bahkan kelinci percobaan dari sebuah program, dengan mahasiswa sebagai tumbalnya. (Amin Fauzi)

* Tulisan ini juga diterbitkan di tabloid edisi 109 SKM AMANAT IAIN Walisongo Semarang



Read More......

Rabu, September 12, 2007

Kado Cinta untuk Kedamian


Melalui buku ini Emha Ainun Nadjib mencoba meneropong dan menguarai benang-benang kusut atas ketidakmenentuan nilai-nilai kemanusiaan yang akhir-akhir ini semakin membinatang, sehingga manusia merasa tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah, mana yang hitam dan mana yang putih.

Dengan buku ini pula Cak Nun (panggilan akrabnya) ingin memberikan kado cinta untuk kedamian kepada sesama manusia, sesama hamba Allah dan sesama bangsa Indonesia. Dengan kado cinta ini akan mengahapuskan nuansa kebencian, menyingkirkan prasangka dan fitnah. Buku ini banyak memberikan pencerahan, mengajarkan kemesraan budaya, empati masyarakat dan peneguhan nasionalisme.
Banyak ranah yang di singgung, sosial, politik, budaya, antropologi dan agama yang tak lepas dari jenggalan aktivitas sehari-hari kita, dimanapun dan kapanpun, apa saja dan siapa saja.

Lewat buku ini bisa dilihat bahwa sosok Cak Nun yang meruang dan mewaktu atas pendampingan-pendanpingan masyarakat sosial, terbukti dengan beberapa tulisanya yang selama 20 tahun lebih berkeliling nusantara untuk berjumpa dengan berbagai forum rakyat dan segmen sosial. (Amin Fauzi)


Judul buku : Emaha Ainun Nadjib
Penulis : Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki
Penerbit : KOMPAS
Tebal : vi + 258 halaman; 14 cm x 21 cm
ISBN : 978-979-709-311-2
Tahun Terbit : Juni 2007

Rehal ini Juga di terbitkan di SKM AMANAT edisi 109

Read More......

Kamis, September 06, 2007

Miskin


Ya Tuhan…..!
Ada ga’ sih orang yang bebannya lebih berat dibandingin aku

Sekarang aku tidak hanya
Miskin kasih sayang
Miskin materi
Miskin sosial
Miskin religi
Miskin hati
Tapi juga miskin ilmu

Ya Tuhan…..!
Apakah aku sombong dengan kemiskinanku?

Tuahanku yang maha pengasih dan penyayang…!
Berilah aku cahaya, agar aku tidak sombong dengan kemiskinanku itu…!

Read More......