Rabu, Juli 25, 2007

Musik Kita


“Dunia tanpa musik, ga asyik,” ungkap salah seorang maestro dangdut Indonesia H Rhoma Irama. Pasalnya, walau bukan kebutuhan primer, tapi tanpa musik hidup bisa terasa hampa, jenuh dan sepi. Setiap hari ritme perjalanan hidup kita baik di rumah, kantor, bus selalu di iringi dengan musik apapun itu instrumennya.

Begitu pentingnya sebuah musik, hingga tepatnya tanggal 9 Maret juga di peringati hari musik nasional di negeri indonesia tercinta ini. Karena bicara soal musik tak hanya sekedar hiburan melainkan juga bisa sebagai instrumen kritik sosial yang mencerahkan.

Masih teringat dan terngiang sepuluh tahunan yang lalu, seperti Iwan Fals, Franky Sahilatua, Sawung Jambo dan Leo Kristy, dianggap sebagai ikon “musisi perlawanan” tanah air. Lagu yang di usung selalu memerahkan telinga para pejabat. Hingga pilihan bagi mereka cuma dua, mati atau bui.

Anehnya, lagu bertema ketimpangan sosial tersebut malah menjadi primadona. Ibarat virus, ia menularkan semangat perlawanan atau menggedor ruang kritis masyarakat. Pentas-pentas musik di kampuspun kesengsem. Dalam berbagai pentas, lagu-lagu “pembebasan” tersebut tak lupa dinyanyikan.

Namun seiring dengan perjalanan waktu, semangat tersebut telah berubah. Lagu dengan tema kritik sosial kurang diminati lagi. Musisi sekaliber Iwan Fals pun harus banting setir. Tak lagi bicara idealisme, namun juga menuruti selera pasar.

Apalagi akhir-akhir ini banyak bermunculan musisi-musisi baru dengan beraneka ragam lagunya, bak cendawan di musim hujan. Namun dari banyaknya lagu tersebut, tidak ada lagu yang bermuatan kritik sosial. Musisi baru tersebut tetap mengikuti selera pasar. Seperti halnya lagu cinta tetap menjadi selera pasar sampai dewasa ini.

Padahal, dari dulu sampai sekarang, ketimpangan sosial tak kunjung usai. Lagu iwan Fals berjudul “Galang Rambu Anarkhi” yang bercerita tentang kenaikan harga BBM yang berimbas pada rendahnya daya beli masyarakat, masih relevan hingga kini.

Idealisme dan pasar ibarat dua sisi mata uang, sehingga memadukan keduanya juga tak mudah dilakukan. Apalagi saat ini industri musik tak cukup memberi ruang para musisi yang masih setia mengusung tema kritik sosial dalam lagunya.

Idealnya tidak hanya tak hanya seledar ekspresi diri untuk menghibur, tetapi juga sebagai kritik sosial dan mencerahkan, lebih bagus lagi kalau berani menyuarakan penderitaan rakyat. Sayangnya, realitas pasar mengalahkan segala-galanya.

Read More......

Ratapan Pasar Ngaliyan


Keberadaan supermarket yang semakin banyak bertebaran di wilayah kecamatan Ngaliyan, semakin mendesak para pedagang lokal. Pasar tradisional nyaris terpinggirkan, Apalagi citra kumuh melekat padanya.

Sampah itu tampak berceceran diantara lorong yang memisahkan antara satu kios dengan kios lainnya, bau yang menyengat. Saluran got tidak mengalir, air melebar ke permukaan lantai pasar. Atap-atap pasar bocor, menjadi pemandangan sehari-hari di pasar ngaliyan. Ketika AMANAT berjalan–berjalan di sekitar pasar tersebut. Hanya tampak beberapa pembeli. Di bagian los pakaian hanya ada beberapa penjual yang menantikan kehadiran seorang pembeli.

Begitu juga yang tampak di pasar Jrakah, terlihat di bagian depan pasar, lima kios tutup sejak satu bulan yang lalu, dan ironisnya beberapa waktu yang lalu 85 los Pasar Jrakah dilalap si jago merah (terbakar) akibat saluran listrik yang konslet. Dan kini keberadaan dan keberlangsungan jual beli di pasar Jrakah di pindahkan di depan pasar atau tepatnya yang semula di jadikan tempat parkir.
Jauh-jauh sebelum peristiwa itu terjadi sebenarnya ada banyak beberapa kios yang nampak terbuka juga sepi pengunjung dan pembeli, kondisi lantai becek akibat hujan, kondisi atap pun juga banyak yang roboh sehingga kalau ada hujan turun air pun bocor ke dalam pasar.

Pasar tradisional, selama ini menjadi salah satu tulang punggung masyarakat kecil dalam berdagang. Tak terkecuali pasar-pasar yang ada di lingkungan kecamatan Ngaliyan Semarang.

Mengapa pasar itu di sebut pasar tradisional. Menurut Pudjo Koeswhoro Juliarso, Ir. MSA. Seorang peneliti pasar tradisional, Forum HABITAT (forBIT) Regional Jateng, karena “memiliki pola transaksi jual beli melalui proses tawar-menawar antara pedagang dan pembeli secara sederhana, biasanya di lakukan oleh masyarakat sekitar lokasi secara turun temurun,” jelasnya.

Menurut Pudjo, secara kultural pasar tradisional sebagai “media ruang interaksi” sosial budaya, media pertemuan lapisan masyarakat dengan para pedagang sayur-sayuran, rempah-rempah dan kebutuhan sembako lain yang di sediakan. “Semua ini bisa di peroleh dengan harga eceran yang mudah di peroleh oleh ibu rumah tangga,” imbuhnya. Dia menambahkan bahwa pasar tradisional tidak semata-mata sebagai fungsi pelayanan ekonomi tetapi sebagai tempat komunal kehidupan sosial budaya masyarakat.
Di lingkungan kecamatan Ngaliyan, menurut catatan pemerintah kota Semarang, terdapat 2 pasar tradisional. Pasar itu terdiri dari pasar Jrakah yang berada tepat di timur kampus I IAIN Walisongo Semarang. Selain itu, sebuah pasar di samping kantor Kecamatan Ngaliyan yang sudah terkena pelebaran jalan.

Kehadiran Pasar Modern
Namun kini keberadaan dan romantisme pasar-pasar tersebut terusik dengan kehadiran pasar-pasar modern atau pasar swalayan yang semakin bertebaran di sekitar Ngaliyan. Yaitu, kalau menurut KUKM (Koperasi Dan Usaha Kecil Menengah) pasar modern adalah Pasar yang dilengkapi dengan bentuk bangunan fisik yang megah, fasilitas berbelanja yang lengkap, serta suasana yang aman dan nyaman. Barang-barang yang diperdagangkan bervariasi, bermutu baik dengan harga bersaing.

Namun, ada juga barang-barang tertentu yang dijual murah, dalam waktu tertentu untuk mengatasi persaingan yang cukup ketat. Harga barang di pasar modern relatif tinggi antara lain disebabkan oleh biaya investasi yang cukup besar untuk sewa atau pemilikan tempat usaha. Para pedagangnya sebagian besar terdiri dari pedagang golongan menengah ke atas dengan cara berdagang yang sangat profesional. Pasar modern biasanya dilengkapi dengan sarana hiburan seperti bioskop, mainan anak-anak, dan restoran, yang merupakan daya tarik tersendiri untuk merangsang kedatangan para pengunjung atau pembeli potensial.

Berawal dari Sarinah departement store yang berada di antara kampus II dan III IAIN Walisongo, kini di susul dengan kehadiran Swalayan Aneka jaya menghadap ke barat bertempat di KM. 1 arah Boja -Kendal. Selain itu di depan SMP 16, menghadap ke timur juga berdiri mini market Indomaret. Di selatan pasar Ngaliyan berjarak 100 meter, menghadap ke timur juga tampak berdiri ONO Swalayan dengan 3 lantai.

Kehadiran beberapa swalayan tersebut, sangat berpengaruh pada perkembangan dan keberadaan pasar tradisional. Pasar tradisional semakin sepi, Masyarakat sekitar cenderung memilih pasar modern dari pada pasar tradisional. Seperti halnya Bambang Riyanto (23) warga Margoyoso Ngaliyan, dia lebih suka membeli peralatan hidupnya di hypermarket. “Suasana lebih bersih, praktis, serta cukup efisien,” ujar Riyanto.
Masih menurut Riyanto, selain pasar modern itu bersih juga tidak perlu tawar-menawar seperti di pasar tradisional. “Selain itu kemasannya dagangannya juga cukup memikat dan menarik,” imbuh Riyanto.

Hal senada juga di ungkapkan oleh Sriyani warga Ngaliyan Semarang. “Membeli di swalayan tidak perlu tawar menawar, kalau mau ya di ambil kalau tidak mau ya sudah,” ujarnya. Menurut Sriyani membeli barang di pasar swalayan kebih nyaman dan menyenangkan karena barangnya bagus-bagus.

Keluhan pun datang dari para pedagang pasar tradisional atas kehadiran beberapa pasar modern. Seperti keluhan Ningsih, penjual buah-buahan, asli Ngaliyan. “Keadaan pasar terasa sepi, Cuma slentar-slentir orang dan segelintir orang yang membeli,” keluhnya.
Menurut Ningsih, kondisi di pasar Ngaliyan sejak didirikannya pasar-pasar modern terasa sangat berbeda dari yang sebelumnya. “Memang ada pengaruhnya sejak ada pasar modern, akan tetapi mengenai pasar buah tidak begitu ngaruh, karena paling-paling mereka membeli di pasar modern adalah mengenai kosmetik,” imbuh Ningsih.
Sama halnya dengan Bukhori, penjual pakaian dan aksesoris dari Tasikmalaya yang selalu mangkal di pasar Jrakah. Menurutnya, kondisi pasar semakin sepi, lantaran didirikannya beberapa supermarket di kawasan Ngaliyan. Pembeli semakin berkurang dari sektor manapun. “Para penjual lari menjadi buruh pabrik, akibat sepinya perdagangan,” keluh Bukhori.
Masih Bukhori, menurutnya orang yang mau belanja di pasar Jrakah hanya orang-orang yang usianya tua, jarang sekali remaja yang mau menginjakkan kakinya untuk berbelanja di pasar Jrakah. “Apalagi para remaja, jarang yang mau membeli di pasar tradisional karena mungkin kondisi kotor, bau busuk sangat berbeda bila di bandingkan dengan pasar modern,” imbuhnya.

Tergusur Jalan
Sudah jatuh tertimpa tangga. Begitu nasib para pedagang di sekitar pasar Ngaliyan setelah keberadaannya terusik dengan munculnya beberapa hypermarket. Kini luka lara itu di tambah dengan program pelebaran jalan oleh Pemerintah Kota di sepanjang Jrakah-Mijen. Beberapa bagian kios pasar akan tergusur dengan adanya program tersebut.
Menurut Iswar Aminudin Kepala Bagian Jalan dan Jembatan DPU Kota Semarang, tahun ini rencana pembangunan pelebaran jalan di kawasan Ngaliyan dengan panjang 1,2 km dan lebar 26 meter. Yaitu sepanjang kampus 2 IAIN Walisongo sampai Depan Kantor Kecamatan Ngaliyan Semarang. “Sementara kelanjutanya di lanjutkan tahun depan sambil nyari-nyari dana untuk itu,” ucapnya.
Parjo (34) penjual makanan ringan di Pasar Ngaliyan merasa resah karena adanya program pelebaran jalan. “Warung ini akan segera tergusur sesegera mungkin,” keluh Parjo warga Ngaliyan ini.
Sementara menurut Sri Lestari penjual telepon seluler yang kiosnya bertempat di los Pasar Ngaliyan bagian depan dekat dengan jalan raya, akan di ganti dan di bangunkan di samping Puskesmas Ngaliyan.
Sri pun pantas khawatir dan tak nyaman. Lantaran tempat barunya nanti tidak akan seramai seperti saat sekarang. “Saya takut kalau tempatnya jauh dari keramaian pembeli,” keluhnya.
Berbeda dengan Ngatinem, wanita setengah baya penjual warung makan di depan pasar Ngaliyan merasa lega karena warungnya tak jadi di gusur. Pasalnya, pelebaran yang semula 5 meter menjadi 2 meter. “Saya merasa lega masih bisa berjualan di sini,” tandasnya sembari tersenyum.

Masih Mencari Tempat
Bersamaan dengan penggusuran beberapa bagian kios pasar, akan di ganti dengan tempat yang lain yang sewajarnya. “Tapi saat ini baru kita pikirkan untuk mencari tempat pasar yang baru dengan sewajarnya,” kata Slamet Pegawai Bagian Pasar dari Dinas Pasar Kota Madya Semarang.
Pasalnya, pelebaran jalan itu sampai sekarang belum sampai di depan Pasar Ngaliyan sehingga alokasi pemindahan pasar (kios) yang terkena pelebaran jalan baru di pikirkan jadi belum ada tempat yang pasti untuk tempat yang baru karena mengingat pelebaran jalan di depan Pasar Ngaliyan belum terlaksana. “Sambil mencari-cari dana untuk membangun pasar baru itu,” imbuh Slamet.
Akan tetapi keluhan dari beberapa penjual itu di bantah oleh Bambang Purnomo, SE Kepala Sub Bidang Perdagangan Kota Madya Semarang. Anggapan dari pemerintah bahwa dengan berdirinya pasar modern khususnya di daerah Ngaliyan banyak mendatangkan keuntungan bagi masyarakat. Kalau dulu ada pameo bahwa kedatangan pasar modern akan mematikan eksistensi pasar tradisional ternyata tidak. “Semua tergantung pada segment dan kebutuhan masyarakat,” ungkap Bambang
Menurut Bambang yang harus di lakukan antara penjual, pemerintah, dan masyarakat adalah adanya persatuan (integreted) antara satu dengan yang lainnya untuk berupaya sama-sama memikirkan dan mendukung adanya keberadaan baik itu pasar tradisional maupun pasar modern.
Karena bagaimana pun juga, pasar modern akan semakin tumbuh dari tahun ke tahun. Sebab mengenai izin pendirian pasar modern tergantung pada pemerintah kota mengizinkan atau tidak. Sekarang tidak ada yang mengatur bahwa kalau pasar modern itu harus didirikan di kota, kalau sebelum otonomi daerah itu ada. “Dengan dalih demi pemerataan ekonomi masyarakat,” imbuh Bambang. (Amin Fauzi) Amanat Edisi 106

Read More......

Mahasiwa Hanya Penonton!


Pelibatan mahasiswa dalam Pilderek tak ubahnya hanya sandiwara. Karena suara senatlah yang paling menentukan.
Tahun 2003, masing-masing Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) memperoleh Statuta dari Menteri Agama (Menag) RI. Jilidan tebal tampak rapi itu berisi bab per bab, pasal per pasal, item demi item tentang kejelasan hukum atau anggaran dasar ke mana PTAI akan dibawa.
Setelah diteliti dan diverifikasi oleh masing-masing PTAI, statuta bernomor 59 itu menjadi pijakan dalam mengelola PTAI. Statuta yang disahkan pada 25 Februari 2003 oleh Prof DR Said Aqil al-Munawar MA, mengatur semua hal baik hak maupun kewajiban pemegang otoritas di Perguruan Tinggi Islam (PTAI) di seluruh Indonesia.
Salah satu bab dari statuta itu mengatur tentang pemilihan pimpinan PTAI. Berbeda dengan statuta sebelumnya, statuta baru ini dipandang lebih terbuka dan demokratis. Dalam statuta lama, pimpinan PTAI dipilih oleh senat yang bersangkutan. Sedang dalam statuta baru, semua civitas akademika dilibatkan termasuk mahasiswa, meski berbeda satu sama lain di masing-masing PTAI.
Di IAIN Walisongo, senat memutuskan bahwa tata cara pemilihan rektor dan dekan tertuang dalam Bab III Pasal 7. Pasal tersebut menjelaskan, pemilihan rektor dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap I untuk menjaring bakal calon rektor dan tahap II memilih calon rektor.
Tahap I dilaksanakan untuk menjaring bakal calon rektor yang diikuti oleh dosen tetap, mahasiswa program S-1 semester lima ke atas, mahasiswa program pascasarjana semester tiga ke atas dan mahasiswa diploma semester tiga ke atas, yang secara kumulatif, terdaftar pada semester di mana pelaksanaan pemilihan tahap I dilakukan. Suara seluruh dosen dan suara mahasiswa diberi bobot proporsi yang sama, yaitu 50:50 persen.
Sementara tahap II prosesi pemilihan rektor, diikuti oleh seluruh dosen tetap, wakil mahasiswa (BEMI & DPMI) dan seorang wakil karyawan. Pemilihan tahap II tidak dilaksanakan apabila dalam pemilihan tahap I terdapat bakal calon yang memperoleh suara lebih dari separuh bobot proporsi suara dosen dan atau lebih dari separuh suara kumulatif.
Aturan di atas, jelas berbeda dengan aturan sebelumnya (2002) yang tidak melibatkan mahasiswa sama sekali. Prosesi pemilihan hanya dipilih lewat representasi senat yang hanya terdiri dari beberapa gelintir orang

Meski dalam statuta dinyatakan pelibatan karyawan dan mahasiswa dalam Pilderek, namun masih sangat diskriminatif dan setengah hati. tidak semua mahasiswa dilibatkan. Hanya mereka yang semester lima ke atas saja diikutkan dalam prosesi Pilderek tersebut.
Mengapa mahasiswa semester lima ke atas? “Karena mereka paling tidak sudah mengerti peta perpolitikan kampus,” ujar Pembantu Rektor I, Prof Dr Ibnu Hajar M.Ed.
Kesan diskriminatif itu semakin kentara dengan munculnya Surat Edaran (SE) No. Dj.II/PP.10.9/482/2006 yang dikeularkan Departemen Agama RI mengenai revisi statuta yang dikirimkan ke seluruh PTAI se-Indonesia pada 13 Juni 2006.
Tiga helai surat revisi statuta yang di tandatangani oleh H Jahja Umar, Ph.D selaku Direktur Jendral BAGAIS tersebut terdiri dari 14 perubahan item. Salah satu item dalam SE tersebut membahas peran mahasiswa kaitannya dengan prosesi pemilihan pimpinan perguruan tinggi.
Ada salah satu item yang dianggap mempengaruhi peran mahasiswa yaitu Item No 8; “Mahasiswa sebagai pihak yang menuntut dan mengkaji ilmu di perguruan tinggi bukan merupakan komponen yang dilibatkan dan dimobilisasi secara langsung dan formal dalam proses penentuan pimpinan perguruan tinggi agama Islam”.
Revisi dalam item tersebut menafikan keterlibatan mahasiswa dalam Pilderek. Mahasiswa dikembalikan pada tugas asalnya yaitu menuntut dan mengkaji ilmu di PT tersebut.
Presiden BEMI Fauzun Nihayah menilai Surat Edaran itu sangat memojokan mahasiswa. “Mahasiswa diciptakan seperti halnya tahun 1970-an yang hanya bertugas menuntut dan menimba ilmu tanpa ikut andil dalam menentukan kebijakan,” katanya geram.
Ia menambahkan, SE itu juga masih membingungkan dan tidak tegas. Sebab masih ada benturan-benturan antarpoin. “Poin 8 menyatakan mahasiswa tidak dilibatkan. Tetapi di point lain, pemilihan dilakukan oleh civitas akademika. Otomatis mahasiswa ikut di dalamnya,” katanya.
Hadiq, salah satu dari Menteri BEMI juga merasakan hal yang sama dengan Fauzun. “Mahasiswa seharusnya dilibatkan dalam pilderek. eh, ini malah tidak diberi kesempatan sama sekali seperti ini,” keluhnya.

Beda Pelaksanaan
Meskipun statuta yang ditetapkan oleh Depag RI itu sama, namun aturan dan pelaksanaanya di masing-masing PT berbeda-beda. Pelaksanaan pemilihan Ketua STAIN Kudus, misalnya. Setelah suara mahasiswa dan dosen dikalkulasi, kemudian diserahkan kepada senat. Senat lalu melaporkan ke Departemen Pendidikan Tinggi Agama Islam (DIKTI). DIKTI inilah yang memutuskan siapa yang terpilih secara sah.
Di STAIN Kudus, Masyharuddin terpilih sebagai Ketua menggantikan seniornya Prof. Dr. Muslim A. Kadir, MA. Padahal arus bawah, mahasiswa, tidak mengehendaki Masyhar.
“Sebenarnya, wahana pemilihan langsung untuk rektor di kampus tidak berpengaruh sama sekali. Mahasiswa hanya dijadikan lipstick dalam pesta besar itu. Meski mahasiswa diibatkan, toh pada akhirnya senat lah yang memutuskan,” ujar Hamdan, mahasiswa STAIN Kudus 2003.
Lain Kudus lain Salatiga. STAIN Salatiga, pada Pilket (pemilihan Ketua) yang telah digelar 29 November 2005 dan 10 Desember 2005 kemarin, setelah sebelumnya dipilih senat, kini untuk pertama kalinya dipilih oleh dosen tetap. Namun sebelum itu, mahasiswa dilibatkan dalam proses penjaringan bakal calon ketua.
Di sana, ada 14 nama bakal calon yang akan diambil maksimal 6 besar dan minimal 3 besar, yang akan bertarung dalam Pilket periode 2006-2010. Pemilihan dilakukan dalam 2 tahap. Penjaringan bakal calon melibatkan mahasiswa semester 3 ke atas, karyawan dan dosen. Sedang dalam pemilihan calon, hanya dosen tetap dan 2 perwakilan mahasiswa yang memilih.
Menurut salah satu mahasiswa STAIN Salatiga, Harun, Pilket dipandang tidak aspiratif. “Mahasiswa hanya dijadikan kambing hitam, karena tidak dilibatkan secara keseluruhan.”
Di IAIN Sunan Ampel, Pemilihan Rektor (Pilrek) periode 2004-2008 dilakukan secara langsung oleh civitas akademika. Sejak awal Februari 2004, tata cara Pilrek sudah disosialisasikan dan mendapat tanggapan positif dari segenap civitas akademika.
Ada 3 tahapan pemilihan yang dilalui. Yaitu proses penjaringan bakal calon rektor (24/3/2004), penetapatan calon rektor (31/4/2004) dan puncaknya adalah pemilihan rektor itu sendiri (28/4/2004). Sebelumnya, masing-masing calon rektor harus menyampaikan visi misi dan program kerja di hadapan senat insitut dan sivitas akademika.
Mahasiswa semester satu hingga lima tidak dilibatkan dalam pemilihan, karerna dianggap belum memenuhi persyaratan. Mahasiswa semester lima ke atas yang diikutkan.

Aturan yang sama berlaku di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pilderek di sana melibatkan dosen, mahasiswa dan karyawan. Sistem pemilihan balon rektor dilakukan melalui tiga tahap, yakni penjaringan, penetapan dan pemilihan calon.
Persyaratan umum calon berusia setinggi-tingginya 61 tahun dan serendah-rendahnya menduduki jabatan fungsional Lektor Kepala. Bersedia dicalonkan menjadi rektor yang dinyatakan secara tertulis, tidak sedang menduduki jabatan rektor periode kedua berturut-turut. Dan secara khusus, calon harus berpendidikan S3.
Selanjutnya adalah proses penjaringan. Panitia Peilihan Rektor (PPR) memilih sekurang-kurangnya tiga orang calon, yang kemudian diajukan ke Senat Institut untuk dilakukan pemilihan lalu diserahkan ke menteri agama untuk diusulkan kepada presiden dan ditetapkan sebagai rektor.
Hampir sama sebenarnya pola pemilihan yang ada di setiap PTAI. Hanya perbedaan – perbedaan kecil yang tidak berarti yang mengemuka di setiap PTAI. Ini tentu karena perbedaan pengelolaan PTAI yang berbeda satu sama lain.
Suara Senat Suara “Tuhan”
Meski banyak perguruan tinggi sudah melibatkan mahasiswanya dalam Pilderek, apapun yang terjadi keputusan mahasiswa, namun toh pada akhirnya keputusan ada di tangan senat. Senatlah yang punya otoritas penuh.
Bahkan ada juga perguruan tinggi yang tidak melibatkan sama sekali mahasiswanya. Terutama sekali perguruan tinggi umum di bawah Diknas (Departemen Pendidikan Nasional) seperti halnya UNDIP dan UNNES Semarang yang baru saja melakukan Pilderek tahun ini.
UNNES, baru saja melakukan Pilderek pada April 2006 lalu. Mekanisme Pilderek diawali dengan rapat senat. Senat membuat tim khusus pelaksanaan Pilderek yang terdiri dari senat, BEM universitas, BEM fakultas dan DPM. Tim tersebut kemudian membuat regulasi atau Juklak Pilderek. Sementara panitia pelaksanaan Pilderek terdiri dari anggota senat, BEM dan UKM. Sedang yang mempunyai suara untuk memilih hanya anggota senat.
Hamdan, Pemimpin redaksi KOMPAS Mahasiswa UNNES menyesalkan mahasiswa tidak dilibatkan dalam Pilderek. “ Debat kandidat pun mahasiswa tidak dilibatkan. Kecuali ketika secara informal BEM Univesitas dan BP2M mengadakan debat kandidat rektor secara independen”.
Nasib Pilerek di UNDIP tak jauh berbeda dengan UNNES. Mahasiwa sama tidak dilibatkan. Namun agaknya dibanding UNNES, UNDIP lebih mendingan karena debat kandidat calon rektor di adakan secara terbuka. Semua civitas termasuk mahasiswa boleh ikut. Tapi, “Lagi-lagi dalam Pilderek, senat lah yang menentukan,” ujarnya kecewa. *** AMIN FAUZI, Skm Amanat Edisi 107

Read More......

Selasa, Juli 10, 2007

SEDEKAH BUMI DAN PEMANASAN GLOBAL

Tradisi dan budaya seperti sedekah bumi yang di laksankana oleh masayarakat pesedaaan sebelum memanen tanaman sebenarnya bukan hanya sebuah adat, rutinitas ataupun sesembahan tanpa makna, akan tetapi punya nilai filosofi yang sangat agung bagi ekologi kehidupan. Upacara sebelum menabang pohon ini yang di lengkapi piranti-pirantunya pun bukan hanya sekedar pelengkap upacara akan tetapi mempunyai lebih akan nilai-nilai. Sebuah nilai dalam rangka mempertahankan atau melestarikan alam ini.

Mengingat akhir-akhir ini banyak bencana menghinggap di bumi Indonesia ini seperti banjir melanda, cuaca di Indonesia panasnya kian menggila, bukan semata sebuah takdir alam, akan tetapi itu semua juga dikarenakan oleh ulah manusia yang bertangan jahil dan punya pikiran pendek. Salah satunya adalah penebangan pohon yang semena-mena tanpa mengikuti aturan yang berlaku yang sering disebut dengan illegal logging . Mereka bisa menebang tapi tak mampu untuk menanam. Akibatnya pun jelas. Banjir, gempa, kebakaran hutan, yang pada akhir-akhirnya alam ini rusak.

Manusia telah kehilangan nilai spiritualnya. Manusia sekarang hanya korup yang terdogma entah dimana rasa saling meyayangi sesama makhluk tuhan, entah sesaman manusia, hewen ataupun tumbuhan. Kini kian hari kian sirna.

Pada saat musim kemarau panas matahari sangat menyayat kepala, kebakaran mudah dimana-mana. Area untuk berteduh selit ditemukan, tumbuhan dan pepohonan yang senarnya di tanam oleh nenek moyang kita dahulu kini berganti gedung-gedung pencakar langit dan tanah lapang tanpa hiasan dedaunan.

Yah. Sebanarnya orang-orang dahulu punya cara dan budaya yang sangat luhur bagaimana menghargai makhluk tuhan termasuk tumbuh-tumbuhan dan pepohonan. Cara ini di lakukan agar bumi ini senantiasa subur oleh kehijauan pohon agar tidak terjadi bajir dan sebgainya. Dan nilai itulah yang sebenarnya saat ini mulai di hanguskan oleh masyarakat sekarang ini.

Read More......