Setiap tahun Jawa Tengah akan kehilangan 2.500 ton produksi beras
akibat pembangunan jalan tol Semarang-Solo.
Untuk mengejar ketertinggalan dari daerah lain seperti Jawa Timur dan Jawa Barat dalam hal laju ekonomi serta memperlanjar jalur transportasi, pembangunan jalan tol Semarang-Solo adalah sebuah keharusan dan keputusan yang mutlak.
Ir. Danang Atmojo MT, Kepala Dinas Bina Marga Provinsi Jawa Tengah mengatakan itu sebagai syarat mati, pasalnya jalur utama yang menghubunghkan kedua Kota tersebut sering terjadi kemacatan “makanya kita harus membuka jaringan baru,” ungkap pria yang ikut mengisi seminar tentang “Percepatan Pembangunan Tol Semarang-Solo Dan Peningkatan Ekonomi Masyarakat” yang di selenggrarakan oleh Kelompok Diskusi
Wartawan Provinsi jawa tengah 25 Juli 2007 lalu.
Pembangunan jalan yang di anggarkan dana sebesar Tujuh Trilyun dan sudah direncanakan sejak tahun 2005 ini rencananya akan di realisasikan pada tahun 2007 dengan panjang sekitar 75,8 km sepanjang jalur anatara Semarang–Solo yang akan melintasi wilayah kota/kabupaten yang terdiri atas lima seksi yakni Tembalang-Ungaran (11,2 km), Ungaran-Bawen (11,9 km). Bawen-Salatiga (18,8 km), Salatiga-Boyolali (20,9 km). dan Boyolali-Karang Anyar (13 km). “sesuai rencana awal sebenarmya pembangunan ini di laksanakan tahun 2006, namun karena berbagi hal, sehingga di undur,” imbuh Danang.
Danang meyakinkan pembebasan lahan untuk membangun jalan tol Semarang-Solo tidak akan merugikan masyarakat. ”Dalam Perpres Nomor 36 Tahun 2005, pembebasan lahan bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum mengacu pada harga pasar,” kata Danang.
Masih menurut Danang, bahwa pembangunan akan membawa banyak keuntungan pada sektor ekonomi Jawa Tengah “semakin cepat pembangunannya maka semakin bagus,” imbuhnya.
Hal senada juga dijelaskan oleh Didik Sukmono, Ketua Komite Tetap Pengembangan Investasi Kadin Jawa Tengah, bahwa kalau ditinjau dari sisi ekonomi investasi Jawa Tengah sampai saat ini masih jauh tertinggal dari pada Jawa Barat dan Jawa Timur
Apalagi sampai akhir Agustus nanti one stop service akan di laksanakan di tiap-tiap Kabupaten, makanya kelancaran transportasi adalah suatu keniscayaan bagi masyarakat Jawa Tengah dan solusinya pembangunan jalan tol itu, “karena apabila tol itu benar-benar di bangun, paling tidak kita akan mendapatkan banyak keuntungan dalam hal laju industri, “ tutur Didik.
Didik mencontohkan, keuntungan pembangunan jalan tol adalah misalnya untuk memperlancar distribusi barang sehingga cost dapat ditekan, membuat acaun untuk membikin tata ruang yang lebih rapi, juga akan berdirinya rumah makan atau rest plece (tempat peristirahatan) di antara jalur tersebut, “namun kendalanya adalah adanya keberatan bagi pemilik tanah atau kendala ganti bagi pemiliknya,” imbuhnya.
Menurut Didik solusinya adalah selain ganti rugi uang juga berbentuk saham atau menyerehakan inbreng, “namun diprediksikan inbreng akan kembali dengan waktu sekitar 50 tahun yang akan datang,” imbuhnya lagi.
Pengamat transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Djoko Setijowarno menilai bahwa pembuatan jaringan baru memang salah satu cara untuk mengatasi kemacatan. Namun hal ini belum tentu bisa mengatasi masalah secara keseluruhan, baik aspek geografis, demografis, politis, ekologi, sosial masyarakat yang wilayahnya terkena proyek ini.
“Bagaimana dengan nasib para petani yang lahannya terkena proyek ini. Mereka hanya petani, meskipun diberi dana penggantian, mereka akan kesulitan karena hanya itu keahlian mereka, dan tidak punya ketrampilan dalam hal kewirausahaan,” imbuhnya.
Djoko mencontohkan, setalah ada tol Cipularang Jawa Barat saat ini akses lalu lintas memang relatif lancar. Namun kawasan yang dulu banyak usaha kecilnya (penginapan, rumah makan), sebagaian besar sudah tutup. “Untuk Semarang-Solo, dari Banyumanik hingga Bawen ada banyak SPBU, rumah makan dan penginapan, Setelah tol dibangun bagaimana? Ini juga harus dipikirkan,” ujarnya.
Masih menurut Djoko bahwa menurutnya, secara geografis maupun ekologis area yang akan dibangun jalan tol adalah wilayah pertanian, dimana lahan pertanian di daerah tersebut sangat potensial, dan 30 persennya adalah hutan lindung dan 10 persen terkena jalan tersebut yang akan dibangun.
“Kalau wilayah tersebut benar-benar akan dibangun efeknya bagi lingkungan akan berbahaya, kalau hutan-hutan itu ditebang, daerah bawah akan banjir, padahal daya serap hutan itu sangat tinggi” terangnya.
Apabila lahan tersebut akan dibangun, maka akan terbagun lima kali lipat dari lahan yang di gunakan, biasanya akan muncul bengkel, restoran, dan toko-toko disampinya terebut. “Sebenarnya Jawa Tengah ini mengidentifikasi sebagai daerah apa? Agraris atau industri? Kalau memang pertanian mengapa dipangkas habis-habisan?,” Djoko menanyakan.
Menurut Kepala Subdinas Sarana dan Prasarana Pertanian Jateng Hari Tri Hermawan, Jawa Tengah (Jateng) akan kehilangan 2.500 ton produksi beras per tahun akibat pembangunan jalan tol Semarang-Solo. Proyek yang melewati enam kabupaten/kota ini akan memakan 311 hektare areal persawahan. "Dengan hilangnya 311 hektare sawah, dalam setahunnya, Jateng akan kehilangan 2.500 ton beras," katanya.
Menurutnya, jumlah tersebut masih bisa bertambah, tergantung pelaksanaan proyek. Jika sesuai rencana, proyek tol Semarang-Solo akan dimulai pembangunannya awal 2007. Akhir tahun ini, ditargetkan proses pembebasan tanah sudah selesai. Enam daerah yang dilewati proyek ini adalah Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Salatiga, Boyolali, Karanganyar, dan Sukoharjo.
Meski akan mengurangi produksi beras di provinsi ini, Badan Bimas Ketahanan Pangan setempat memastikan tidak sampai mengurangi ketahanan pangan Jateng. "Berkurangnya produksi beras akibat proyek tol tidak mengakibatkan Jateng minus beras," kata Gayatri Indah Cahyani.
Saat mengutip data Pemprov Jateng, dia menyebutkan, lahan sawah yang bakal terkena seluas 3.135.063 meter persegi. Sementara itu, lahan perumahan warga mencapai 1.097.137 meter persegi, tegalan 1.504.500 meter persegi, dan hutan 2.683.751 meter persegi. ''Dari data itu, dapat diperkirakan bahwa masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani yang paling terkena dampaknya,'' kata dia.
Lahan persawahan di Kota Semarang yang bakal terkena seluas 119.630 meter persegi. Kemudian di Kabupaten Semarang mencapai 1.644.815,5 meter persegi, Kota Salatiga (177.752 meter persegi), Kabupaten Boyolali (967.546 meter persegi), dan Kabupaten Karanganyar (225.320 meter persegi). ''Dengan hilangnya lahan garapan tersebut, nanti mereka akan menjadi pengangguran,'' katanya.
Jawa Barat, menurutnya, memiliki jalan tol sepanjang 237 km, Jawa Timur 62 km, DKI 106 km, dan Sumatera Utara 37 km. Panjang jalan tol di Jateng saat ini baru mencapai 25 km. Jika jalan Tol Semarang-Solo sepanjang 75,87 km dibangun, total panjang jalan tol di Jateng mencapai 100,87 km.
Jalan tol Semarang-Solo akan dibangun per lajurnya selebar 3,6 meter, bahu luar jalan selebar tiga meter, bahu dalam 1,5 meter, dan lebar median 5,5 meter. Dengan spesifikasi ini, lebar jalan tol Semarang-Solo minimal mencapai 40 meter.
Djoko Setijowarno mempertanyakan tujuan pembangunan tol untuk kepentingan masyarakat. ”Masyarakat yang mana? karena dalam sejarah selama ini tidak ada masyarakat sekitar jalan tol yang menjadi sejahtera setelah wilayah mereka dilewati jalan tol. Yang ada juga tanah mereka menjadi berkurang karena tergusur untuk pembangunan jalan tol,” kata Djoko.
Soal Peraturan Presiden (Perpres) No 36/2005 yang menjadi dasar pembangunan , kata Djoko, jelas tujuannya bukan untuk kepentingan umum, melainkan lebih untuk kepentingan bisnis. Seperti pembangunan jalan tol, lebih untuk memperlancar bisnis atau kegiatan ekonomi sekelompok orang atau golongan dari pada masyarakat, terutama masyarakat yang lahannya tergusur.
Selain itu, masyarakat juga tidak pernah merasakan manfaat dari adanya proyek-proyek tersebut. Mereka tidak bisa menikmati proyek tersebut dalam arti sesungguhnya, mendapatkan keuntungan atau kemudahan karena proyek tersebut. Mungkin satu-satunya ”keuntungan” mereka adalah dapat menikmati (baca: melihat) wujud proyek-proyek tersebut yang biasanya identik dengan modernisasi atau kemajuan teknologi.
Menurut Djoko Kalau memang terpaksa akan di bangun tol lebih baik membangun tol di atas jalan yang sudah tersedia meskipun mahal tetapi secara makro tidak mahal.
Berbalik dengan Djoko, Noor Achmad, anggota DPRD Jawa tengah komisi A menilai pembangunan jalan tol Semarang-Solo adalah hal yang mutlak karena untuk mengejar ketertinggaan dari daerah lain. “Tapi yang harus di lakukan pemerintah adalah harus adanya sebauah kesepemahaman bersama antara pemerintah dan masyarakat, yaitu dengan memberikan sosialisasi yang sejelas-jelasnya sehingga tidak terjadi alah paham,” ungkap pria yang juga menjabat sebagai Rektor Universitas Wahid Hasyim ini.
“Sosialisasinya juga harus transparan, sehingga masyarakat lebih mengerti dan memahami keuntungan maupun kerugiannya, baik secara ekonomis, sosiologis bahkan antropologis religius,“ imbuhnya. (Amin Fauzi)
*ulisan ini juga di muat di tabloid edisi 109 SKM AMANAT IAIN Walisongo Semarang.
Jumat, September 28, 2007
Mana Untung, Mana Buntung
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar