Senin, Mei 18, 2009

Tugu Muda, Oase Baru Remaja Semarang


Sabtu, 9 Mei 2009, Jarum jam sudah neunjukkan pukul 21.15 WIB. Air Mancur yang memancar dari dari 14 titik semburan setinggi 30 meter sudah dihentikan. Namun para muda-mudi masih belum beranjak dari tempat itu.

Mereka terus saja duduk-duduk di sekitar kolam, maupun di atas rerumputan. Beberapa hari terakhir, bundaran Tugumuda hampir selalu dipenuhi pengunjung, khususnya pada malam hari. Berbagai aktivitas dilakukan masyarakat di tempat tersebut. Mulai dari sekadar nongkrong, jalan-jalan, hingga berfoto di sekitar taman. Tak jarang pula, terlihat anak-anak berlari dan bermain bebas di tempat itu.

Di senja hari, juga banyak muda-mudi Semarang yang mengahbiskan waktu di sini. Tempat ini semakin banyak difungsikan oleh publik, seperti pengambilan foto dalam pre wedding, diskusi para mahasiswa atau tempat kongkow-kongkow para komunitas-komunitas kecil di Semarang.

Pesona yang Memancar
Kini, taman tuga muda tidak lagi sepi dan berbau apek dari air kolam. Dalam sebulan terakhir pesona Tugu Muda kian memancar. Lampu sorot terang benderang menyorot awak tugu muda yang gagah.

Selain itu, taman tertata apik dengan tanaman berbunga baru, air mancur dengan 14 semburan setinggi 30 meter menambah eksotisme monumen pengingat Pertempuran Lima Hari di Semarang era perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dulu.

Kawasan tugu akhir-akhir ini semakin menandaskan sebgai tempat wisata keluarga, di sekelilingnya banyak bangunan-bangunan yang menarik untuk dikunjungi. Ada Gedung Lawangsewu dengan arsitekturnya yang khas Eropa. Di seberangnya ada Gereja Katedral dan Museum Mandala Bakti.

Bergeser sedikit ada Wisma Perdamaian, Pasar Bulu dan juga Gedung Pandanaran, yang lantai pertamanya terdapat perpustakaan umum dan semua tempat-tempat itu layak di kunjungi oleh masyarakat.

Oase Baru
Bagi remaja-remaja Semarang dengan pembaharuan taman ini menjadi daya tarik sendiri, Yosi Oktianto misalnya, bocah berusia 9 tahun ini tampak terus berlari mengitari sekitar taman beserta kakak dan adik sebayanya besama keluarga, sesekali mereka mendekati kolam ingin merasakan tempias air mancur. Bersama teman-temannya Yosi seolah mendapatkan oase kebebasan bermian baru di tempat tebuka.

“Di sini tempatnya indah, dan asyik untuk bermain anak-anak. Di Semarang sekarang jarang ada tampat terbuka seperti ini, kalaupun ada tempat bermain sekarang harus bayar dulu,” ujar Ibunda Desy, Ibunda Yosi sembari mengawasi anaknya.

Hal sama juga dilakukan oleh Indah Fitriyani (21), bersama teman-teman sekomunitasnya ia acap mengadakan diskusi-diskusi kecil di tempat ini, “Diskusi diruang terbuka seperti ini rasanya lebih fresh dan mencerahkan dari pada di ruangan,” ujar Mahasiswi fakultas Hukum Universitas Dipenegoro ini.

Read More......

Kamis, Maret 26, 2009

Hilangnya Fanatisme


Kalau kita mau menegok sejarah hari-hari kampanye Pemilihan Umum dulu, serasa ada kecemasan yang menggelayut di dalamnya. Terdapat rasa kehawatiran besar akibat panasnya suhu politik waktu itu.

Sebab ketika masa-masa kampanye, masalah yang menyangkut keamanan menjadi riskan, bentrokan pendukung antar Partai Politik acap meletup, perilaku anarkisme senantiasa menghantui. Orang rela berbuat apapun, sampai bentrok demi sebuah partainya, fanatismenya terlalu besar.

Bagaimana dengan sekarang? Menengok kondisi kampanye Pemilu legistatif 2009 pada minggu awal, sementara terlihat tenang-tenang saja, tidak ada kekhawatiran sedikitpun mengenai keamanan dalam kampanye. Semuanya terlihat aman, damai, nyaman. Imbuan dari berbagai pihak untuk bersikap santun, terasa sangat dipatuhi.

Kampanye nampak relatif damai, mungkin karena sepi peminat, banyak yang acuh terhadap kampanye besar-besaran. Bahkan sekarang banyak calon legislatif (caleg) yang mengeluh, untuk meramaikan kampanye pencalonannya, para caleg merasa kesulitan untuk mengerahkan masa. Tanpa adanya akomodasi dan transportasi yang jelas, para masyarakat enggan untuk datang. Mereka lebih senang menghabiskan waktunya untuk aktivitasnya sendiri.


Bahkan ketika menghadiri kampanye, yang menjadi pusat perhatian bukan para caleg atau pemimpin partai yang berorasi, melainkan para artis yang menjadi penghibur kampanya. Padahal, dahulu, kampanye adalah ajang musim berkobarnya fanatisme partai, tidak sedikit orang yang berdarah-darah, demi mengahadiri kampanye partainya.

Bisa jadi ini dikarenakan hilangnya fanatisme masyarakat kepada partai politik. Atau bisa jadi sudah tidak ada keterlibatan hati dalam mengikuti kampanye, sehingga apa yang dikoar-koarkan oleh calon legislatif dianggap angin lalu belaka. Karena mengaca pada kepemimpinan sebelumnya banyak kader dari partai tersebut, ketika sudah duduk di singgasana parlemen lupa akan kepentingan rakyat kecil, atau bahkan banyak yang terjerat kasus korupsi.

Sehingga ketika ada kampanye tebuka, masa acuh terhadap orasi yang disampaikan oleh para caleg, dan lebih menarik perhatian artis yang datang karena memang benar-benar menghibur bukan mengumbar janji.



Read More......

Rabu, Maret 25, 2009

Nyanyian kenegaraan dari Franky dan Garin


Permasalahan Kenegaraan makin akut,
sistem dianggap perlu di Restorasi dan di Revolusi


Pancasila rumah kita// rumah untuk kita semua// nilai dasar Indonesia // rumah kita selamanya// untuk semua piji namanya // untuk semua cinta sesama // untuk semua keluaerga menyatu // untuk bersambung rasa // untuk semua saling membagi.

Sembari memetik senar gitar, Franky Sahilatuha dengan syahdu melantunkan lagu berjudul “Pancasila Rumah kita” di atas dengan penuh hikmat. Para pengunjung tarpana dan memfokuskan tatapannya pada Franky, ditengah-tengah lagu, masih dalam alunan dentingan gitar, Garin Nugroho seorang sineas Indonesia menimpalinya dengan bercerita tentang kondisi kenegaraan baik ekonomi, politik, sosial, pendidikan, kemiskinan yang masih membalut negeri Indonesia.

Usai Garin bercerita, pengunjung, disuruh untuk melihat lirik lagu tersebut dalam slide kemudian bernyanyi bersama-sama.

Ya. Itulah acara pembukaan acara “Ngobrol bersama Garin Nugroho dan Franky Sahilatuha” yang dilaksanakan oleh Lembaga Studi Pers dan informasi (Lespi) di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang pada Senin, 9 Maret 2009 lalu.

Acara ini sebenarnya salah satu rangakaian acara yang di gagas oleh Garin dan kawannya-kawannya melaui lembaga “Pelangi Perubahan” yang dimilikinya. “saya menyelenggarakan acara serupa di berbagai tempat lain, baik di sekolah, pesantren, misionaris atau di tempat-tempat pementasan seperti ini, dengan tujuan memberikan pendidikan kewarganegaraan bagi masyarakat,” ujarnya.

Melalui nyaian dan dongeng-dongeng perubahan, Franky dan Garin senantiasa menyemai nilai kenegaraan pada masyarakat. Karena menurut Garin, pada saat ini, sulit ditemui warga Indonesia yang mempunyai jiwa negarawan.

Banyak masayarakat Indonesia yang bisanya hanya mengkonsumsi apapun. baik barang, tayangan tanpa menimbang-nimbangkanya “kita sulit menemukan warga negara, tapi yang banyak warga konsumen,” tandas Garin.

Terlebih masih menurut Garin, bahwa banyak politisi kita yang seharusnya menyelemakan masyarakat untuk berbudaya konsumtif, malahan menjadi ikon untuk mendukung budaya tersebut.

Banyak politisi atau pejabat kita tidak menjalankan profesinya demi kepentingan rakyat, malahan banyak yang menjadi makelar, mereka rela menjual apapun yang penting meraka untung, “minyak, kebiajakan, idealisme dan sebagainya. Pilitik mereka adalah politik makelar, yang nilainya hanya ditentukan uang dan massa” imbuh sutradara film Opera Jawa ini.

Banyak ketimpangan yang terjadi di negeri ini, melalui lagu dan dongengnya Franky dan Garin mencontohkan fenomena-fenomena masyarakat kecil diluar jawa seperti di Irian, Sulawesi, Ende Flores dan sebaginya yang dibentur-benturkan dengan perilaku-perilaku pejabat dan politisi.

Banyak juga politisi-politisi kita yang sudah mencapai puncak kepamapannya, telah kehilangan tujuan atau awalnya, “yang lebih ironis mereka sudah mati rasa, dan tidak punya air mata, untuk menangisi kemiskinan dan ketertinggalan yang senantiasa mendera rakyat Indonesia,” tukas alumnus Institut Kesenian Jakarta ini.


Revolusi dan Restorasi
Sementara ditengah-tengah lagu-lagu dengan kritik sosialnya, Franky Sahilatua menimpali apa yang disampaikan oleh Garin, bahwa untuk menjembatani permasalahan yang sangat kompleks bak benang kusut ini, seperti birokrasi, koruspi dan kemiskinan ini. Hal yang perlu dilakukan menurut Franky adalah Restorasi dan Revolusi.

Restorasi berasal dari kata to restore, menurut Webster’s Third New International Dictionary to restore diberi arti to bring back or to put back into the former or original state, atau to bring back from a state of changed condition. Jadi menurut Webster restorasi bermakna mengembalikan pada keadaan aslinya, atau mengembalikan dari perubahan yang terjadi.

Bagi Franky restorasi adalah penataan ulang, baik sistem kewarganegaraan, politik, ekonomi maupun maupun pemerintahan. Sedangkan bagi Franky yang perlu direvolusi adalah sistem birokrasi Indonesia yang kian akut dan kian tak terjamah oleh rakyat.
“Untuk bisa menempuh jalan itu, dalam waktu dekat minimal hal yang bisa dilakukan adalah memilih pemimpin yang mempunyi falsafah hidup (multikulturalisme) dan pemimpin yang bisa berpipikir, bertindak dan bekerja secara keras,” ujarnya penyanyi Perahu Retak ini.

Sebagai individu, untuk bisa membantu dan membesarkan bangsa Indonesia ini, pesan Garin. Agar kita menjadi negarawan-negarawan dalam hal apapun “ artinya dengan profesi apapun kita harus tetap professional menjalankannya,” sarannya.

Diskusi yang dipimpin oleh Wisnu Tri Hnggono ini, peserta tampak antusias dan terpukau mengikuti acara tersebut. Di akhir acara, panitia membagikan pita merah putih untuk ditalikan di lengan peserta. Sementara Franky Sahilatua mengirinya dengan lagu ciptaanya yang berjudul “kemesraan” dan diikuti bersama-sama peserta.

Di tengah-tengah lagu kemesraan, Garin berucap “tujuan gerbong kemerdekaan, adalah ketika kita bisa bermesraan di anatara semua rakyat di Indonesia, untuk bisa bisa sejahtera bersama dan menebar senyum bagahia,” tegasnya. (I10)



Read More......