Kamis, Desember 27, 2007

Global Warming in Reflection


Di sadari atau tidak, diakui atau tidak, bahwa hidup sekarang masih bisa dirasakan kenyamanannya meskipun kalau dibandingkan dengan sepuluh tahun yang lalu, kenyamanan itu telah memudar.

Mungkin saat ini, terkadang alam masih mengandeng gerak langkah kita, terbukti dengan murahnya fasilitas yang diberikan setiap detiknya. Kita bisa menghirup udara segar tiap pagi, angin masih senantiasa membelai kala gerah, seteguk dua teguk air bersih siap sedia di minum kala haus. Dua kali sehari masih diperknenkan menceburkan diri dalam air bersih kala kita ingin mandi. Kita masih bisa berteduh di bawah rindang pohon kala sang surya menyengat bumi. Begitu bersahajanya alam ini.

Namun apakah anda pernah berpikir sepuluh tahun kedepan bahwa semua fasilitas yang diberikan di atas sulit untuk ditemui, jangankan untuk mandi dengan air bersih, untuk mencari seteguk dua teguk air minum saja sulit. Kalau alam seperti ini bergolak bagaimana dengan nuansa kemesraan sosial ini?.

Kecurigaan ini bukanlah hal yang tidak mungkin, semuanya bisa terjadi, kecurigaan itu indikasinya sudah bisa ditemukan tiap harinya. Rentetan bencana bertaburan pemberitaanya di media, banjir, gempa, kekeringan, gagal panen, limpur lapindo, angin puting beliung, tsunami, dan masih banyak bencana alam lain yang menunjukkan bentuk interaksi alam terhadap kesombongan manusia.

Yaaa. Moderenitas terkadang membuat manusia sombong dengan apa yang dimilikinya. Hobi manusia modern mengkonsumsi barang-barang ternyata tidak seutuhnya direstui oleh alam. Teknologi yang digunakan untuk menunjang kenyamanan hidup dengan mengatas namakan efisiensi ternyata malah berbuntut pada kesombongan atas ketergesa-gesaanya.

Di jalan raya misalnya jutaan kendaraan berjubel membanjiri jalan, orang lebih senang menggunakan kendaraan pribadi dari pada angkutan umum sekali lagi atas nama efisiensi (semoga bukan karena gengsi). Tapi yang terjadi bukanlah efisiensi melainkan kemacetan yang yang tiada henti, setiap pagi dan sore orang modern ini harus menyemut di jalanan.

Dalam sebuah kemacetan di temuaknaya berbagai persoalan alam maupun sosial. misalnya tergesa-gesa, membuang-buang waktu, emosi, pemborosan energi. Suasana bumi semakin panas karena langit tak kunjung sanggup memayungi bumi karena telah dicemari oleh emisi gas maupun karbon dioksida yang berlebihan, sekali lagi atas nama efisiensi.

Belum lagi fasilitas rumah yang serba lebih, misalkan AC, mesin cuci, kulkas, TV Komputer yang semuanya mengandung senyawa dalam menyumbang emisi gas ini. Kalau tiap rumah menggunakan fasilitas ini, berapa juta orang menyumbangkan pencemaran ini.
Akibatnya pun jelas, bumi semakin panas, iklim tak menentu. Kita tidak bisa membedakan lagi kapan musim hujan dan kapan musim kemarau, entah itu hujan maupun panas bisa terjadi kapan saja dan dimana saja tanpa kompromi.

Kalau sudah begini kita tidak bisa lagi menggunakan nilai-nilai. Musim yang seharusnya di agendakan untuk menanam atau memanen kebutuhan hidup sehari-hari tak kunjung jelas. Petani sulit untuk menanam padi, atau menanam apapun karena dirundung berbagai bencana tadi. Kalau para petani tidak menanam makanan pokok lagi, lantas kita mau makan apa?.

Bumi adalah salah satu planet yang hanya bisa dihuni oleh manusia, tapi kalau sudah panas, bergolak dan menolak keberlangsungan manusia, lalu mau tinggal dimana?. Merkurius dan venus terlalu panas untuk kita singgahi, mars terlalu gelap untuk ditempati, harapan satu-satunya adalah bumi. Tapi bumi kalau sudah tidak ditemukan kenyamananya, berbagai problem alam maupun social terus menggelayut di punggung kita, lalu mau kemana tinggal dengan lega?

Dalam kondisi seperti ini, makan sulit ditemukan, cuaca semakin panas, udara bersih untuk menghela nafas sulit ditemukan karena sudah bercampur baur dengan gas knalpot, untuk mencari seteguk air bersih saja sulit apalagi makanan.

Untuk memikirkan kebutuan pokoknya sendiri aja terseok-seok, dalam kondisi seperti ini yang menang maka dia yang bertahan jadi benar adanya. Sesuatu hal tidak mingkin bisa memikirkan orang lain. Yang ada hanyalah menggelegaknya mencurigai antar sesama, mpripat manuia saling menerkam, tidak ada lagi nuansa kemesraan, apa lagi kasih saying yang terjadi adalah bermusuhan. Kalau memang begini jadinya maka yang terjadi adalah PERANG….! (Amin Fauzi).

Tidak ada komentar: