Rabu, Juli 25, 2007

Musik Kita


“Dunia tanpa musik, ga asyik,” ungkap salah seorang maestro dangdut Indonesia H Rhoma Irama. Pasalnya, walau bukan kebutuhan primer, tapi tanpa musik hidup bisa terasa hampa, jenuh dan sepi. Setiap hari ritme perjalanan hidup kita baik di rumah, kantor, bus selalu di iringi dengan musik apapun itu instrumennya.

Begitu pentingnya sebuah musik, hingga tepatnya tanggal 9 Maret juga di peringati hari musik nasional di negeri indonesia tercinta ini. Karena bicara soal musik tak hanya sekedar hiburan melainkan juga bisa sebagai instrumen kritik sosial yang mencerahkan.

Masih teringat dan terngiang sepuluh tahunan yang lalu, seperti Iwan Fals, Franky Sahilatua, Sawung Jambo dan Leo Kristy, dianggap sebagai ikon “musisi perlawanan” tanah air. Lagu yang di usung selalu memerahkan telinga para pejabat. Hingga pilihan bagi mereka cuma dua, mati atau bui.

Anehnya, lagu bertema ketimpangan sosial tersebut malah menjadi primadona. Ibarat virus, ia menularkan semangat perlawanan atau menggedor ruang kritis masyarakat. Pentas-pentas musik di kampuspun kesengsem. Dalam berbagai pentas, lagu-lagu “pembebasan” tersebut tak lupa dinyanyikan.

Namun seiring dengan perjalanan waktu, semangat tersebut telah berubah. Lagu dengan tema kritik sosial kurang diminati lagi. Musisi sekaliber Iwan Fals pun harus banting setir. Tak lagi bicara idealisme, namun juga menuruti selera pasar.

Apalagi akhir-akhir ini banyak bermunculan musisi-musisi baru dengan beraneka ragam lagunya, bak cendawan di musim hujan. Namun dari banyaknya lagu tersebut, tidak ada lagu yang bermuatan kritik sosial. Musisi baru tersebut tetap mengikuti selera pasar. Seperti halnya lagu cinta tetap menjadi selera pasar sampai dewasa ini.

Padahal, dari dulu sampai sekarang, ketimpangan sosial tak kunjung usai. Lagu iwan Fals berjudul “Galang Rambu Anarkhi” yang bercerita tentang kenaikan harga BBM yang berimbas pada rendahnya daya beli masyarakat, masih relevan hingga kini.

Idealisme dan pasar ibarat dua sisi mata uang, sehingga memadukan keduanya juga tak mudah dilakukan. Apalagi saat ini industri musik tak cukup memberi ruang para musisi yang masih setia mengusung tema kritik sosial dalam lagunya.

Idealnya tidak hanya tak hanya seledar ekspresi diri untuk menghibur, tetapi juga sebagai kritik sosial dan mencerahkan, lebih bagus lagi kalau berani menyuarakan penderitaan rakyat. Sayangnya, realitas pasar mengalahkan segala-galanya.

Tidak ada komentar: