Artikel ini dimuat juga di harian Suara Merdeka pada Kamis, 13 November 2008
SUDAH menjadi kesan umum, bahwa Kabupaten Grobogan identik dengan jalan rusak. Kesan tersebut terus tertanam sampai saat ini, apalagi saat musim hujan seperti sekarang.
Kesan tersebut bukan bualan belaka, melainkan ada fakta empiris yang bisa membuktikannya. Menurut data statistik, dari 213.246 kilometer (km) jalan provinsi, hanya 18.700 km (8,8 %) saja yang keadaannya masih baik.
Selebihnya, 126.666 km (59,4 %) dalam keadaan tidak baik, bahkan 67.880 km (31,8 %) dalam keadaan kritis. Belum lagi kalau melihat kondisi jalan kabupaten yang totalnya mencapai 880.100 km, sebagian besar dalam keadaan rusak, bahkan sebagian lainnya rusak berat.
Kondisi seperti itu sangatlah memprihatinkan. Apalagi Kabupaten Grobogan kalau dilihat dari segi geografis terletak di antara persimpangan kota lain, seperti Kudus, Demak, Kota Semarang, Salatiga, Solo, dan Blora.
Posisi itu menunjukkan Grobogan memiliki peran vital dalam penggunaan jalur transportasi, terutama dalam peta jalur perdagangan. Peta jalur seperti itu, kalau dimanfaatkan secara maksimal, bisa mendatangkan banyak keuntungan bagi pemerintah daerah (pemda) maupun masyarakat setempat.
Ada kemungkinan, karena letaknya di tengah-tengah persimpangan, Gro-bogan bisa digunakan untuk tempat transit. Peran ‘’transito’’ itu juga menyangkut jalur wisata antardaerah sebagai potensi yang membuka kemungkinan penanaman modal di bidang jasa, perhotelan, rumah toko (ruko), dan lain-lain.
Selain itu, Grobogan juga potensi terbesar dalam bidang pertanian di Jateng. Bahkan sejak dulu Grobogan dikenal sebagai lumbung padi terbesar kedua di Jateng setelah Cilacap. Areal persawahan di kabupaten itu seluas 60.349 hektare atau sekitar 6,04 persen dari seluruh lahan sawah di Jateng.
Hasil pertanian seperti kedelai dan kacang hijau menempati urutan kedua di Jateng, bahkan untuk komoditas jagung, Grobogan menjadi sentra terbesar di Jateng.
Selain tanaman pangan, Grobogan juga menjadi sentra produksi buah-buahan, terutama mangga, belimbing, dan pisang; serta andalan untuk tanaman perkebunan seperti tembakau, kapas, dan kelapa hibrida.
Pariwisata
Di bidang pertambangan, kabupaten itu memiliki deposit besar berupa batu gamping, pasir berbatu (sirtu), tanah liat, gipsum, dan posfat. Belum lagi potensi pariwisata seperti Bleduk Kuwu, Air Terjun Widuri, Api Abadi Mrapen, dan Waduk Kedungombo yang statusnya milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jateng.
Potensi-potensi alam itu, kalau tidak didukung oleh sarana infrastruktur dan transportasi yang memadai, hanya akan “teronggok” sia-sia. Aset dan po-tensi itu menjadi tidak menarik untuk dilirik oleh masyarakat, karena sarana transportasi yang menghubungkan ke sektor-sektor terkait tersebut tidak memadai.
Dengan kondisi jalan seperti itu, wajar bila sampai saat ini Kabupaten Grobogan masuk kategori daerah mis-kin di Jawa Tengah, meski di sisi lain mendapat predikat gudang padi.
Memprihatinkan, beberapa aset daerah yang dimiliki tidak “terjamah” oleh masyarakat luas hanya karena jalan rusak yang setiap waktu bertambah parah.
Kalau kondisi seperti itu terus dibiarkan, ada kemungkinan roda perekonomian Kabupaten Grobogan akan terus melemah, dan predikat sebagai daerah miskin akan terus disandang, karena lambat laun perputaran sektor ekomoni akan mati.
Obsesi Grobogan menjadi kota perdagangan (bisnis) dan wisata seperti yang dilontarkan oleh Bupati Bambang Pudjiono akan sia-sia, jika tidak diimbangi dengan rencana sistematis rehabilitasi jalan secara total.
Perhatian Utama
Berkaca kepada kondisi tersebut, tampaknya peran infrastruktur sangatlah vital. Karena itu, sektor tersebut harus lebih diperhatikan daripada sektor-sektor lain. Harapannya, setelah fasilitas jalan di Kabupaten Grobogan ditata dan ditangani secara baik dan memadai, akses menuju kemajuan pada sektor lain akan mudah dibuka.
Sektor pertanian, perindustrian, dan pariwisata, mutlak membutuhkan dukungan infrastruktur transportasi yang memadai. Secara sederhana, bagaimana bisa menawarkan Objek Wisata Bledug Kuwu, Api Abadi Mrapen, dan Waduk Kedung Ombo misalnya tanpa diimbangi dengan jalan mulus.
Apalagi di era otonomi daerah seperti sekarang, obsesi demi kemajuan suatu daerah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Daerah dituntut untuk memacu penggalian potensi-potensinya, antara lain dengan menggaet investor.
Pemerintah-pemerintah kabupaten kini terkondisi untuk menawarkan daerahnya melalui berbagai media; dari leaflet hingga internet. Juga dengan berbagai kemudahan yang memangkas kekakuan belenggu birokrasi. Sekali lagi, itu mesti diimbangi dengan ketersediaan prasarana vital transportasi.
Grobogan masih belum bisa melepaskan diri dari citra jalan rusak yang parah. Oleh karena itu, untuk menyelesaikan masalah tersebut berbagai pihak juga harus dilibatkan, baik dari pihak pemerintah, para ahli, maupun masyarakat luas, untuk sama-sama memikirkan kembali perbaikan jalan yang rusak.
Masalah kerusakan jalan yang terjadi terus-menerus itu, tidak semata-mata karena kurangnya perhatian maupun dana dari pemerintah, tapi juga karena struktur tanah di Grobogan yang labil. Apalagi saat musim hujan, jalan akan mudah ambles.
Oleh karena itu, pembangunannya harus dicarikan pola dengan konstruksi yang pas untuk tanah yang labil tersebut. Dalam hal itu, peran ahli geoteknik perlu dimaksimalkan. Semoga, pokok pikiran tersebut bisa menjadi pelecut Pemeritah Kabupaten Grobogan untuk segera membenahi fasilitas-fasilitas jalan yang dimilikinya.(68)
– Amin Fauzi, warga Desa Batur-agung, Kecamatan Gubug, Kabupaten Grobogan, kuliah di Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang.
Jumat, November 21, 2008
Memotret Grobogan dari Jalan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar